Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desa-kota, dan Kita Tak Pernah Sama

20 September 2022   05:35 Diperbarui: 20 September 2022   06:05 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Sigit Pratama, 2022

Muncul sebuah rasa terasing ketika bertemu kembali dengan desa yang kadang berjalan dengan ritme yang sangat lambat, serta rasa rindu yang mengekalkan rumah makan, resto, atau hotel-hotel bernuansa desa sebagai saluran sesaat ketika desa itu benar-benar tidak bisa digapai lagi. 

Sebagai orang yang sering berpindah dari kota satu ke kota lain bersamaan dengan harus ke desa-desa yang pelosok perasaan yang digambarkan pembicara tersebut nampak benar adanya. Desa mungkin hanyalah tempat lahir, seseorang yang kemudian hidup di kota dengan segala keriuhannya nyaris tiada akan pernah kembali ke desa. Persimpangan itu nyata adanya.

Orang di desa pun demikian. Kebanyakan mereka yang milih 'urip ayem' tak pernah tergiur ingin ke kota, pindah wilayah atau negara. Mereka tinggal saja sederhana, dengan penghasilan kecil, kadang akses ke rumah sakit jauh dengan jalanan yang belum bagus, tetapi mereka betah. Segala yang ada di media sosial, politik macam apalah itu tak menjadi hal penting. Kontestasi politik yang panas justru biasa muncul dalam pemilihan kepala desa. Itupun kebanyakan hanya mengikuti arus. Hidup di desa juga tak gampang. Geliat komunalitas yang erat, dan memudahkan jika sedang ada kematian kerap harus berbanding terbalik jika ada kabar buruk menimpa satu keluarga. Tapi tetap saja, banyak orang berkeinginan mati di desa, dikuburkan bersama sanak-keluarganya. 

Kita tak pernah lagi sama setelah berjejak di kota, tinggal dan mengais hidup darinya. Adapula yang dulunya karena keterpaksaan tak bisa lagi pulang ke kampung dan bergaul dengan rutinitas khas desa akhirnya kembali ke kota. Berhimpit-himpitan tidur di kamar kos, asap kendara, macet serta semua yang serba cepat. 

Ulang-alik desa kota nampaknya sama saja. Seperti sebuah pilihan dengan banyak konsekuensi, meskipun internet dan pembangunan kini semakin mempererat jarak keduanya. Dari desa dan kota muncul pula gelagat manusia yang sesungguhnya. Marah, benci, cinta, nista, bual, dan macam sebagainya terjalin dalam semua lapisan masyarakat. Rerasan atau gosip itu hanyalah istilah demi memuaskan hasrat sosial manusia. 

Lantas kenapa orang yang tinggal di kota, atau penulis mulai menuliskan hal-hal yang di masa lalu dekat dengannya?

Merekam ingat mungkin jadi jawaban, atau sekedar luapan rindu pada hal-hal yang kini menjadi makin tak tergapai. Kejadian ini semacam seorang Mpu menuliskan babad  tapi dilakukan manusia modern. Memahatkan kejadian yang dekat dalam fiksi. 

Lamun semakin panjang, persimpangan demi persimpangan selalu -menguji manusia pada hal yang mana ia berpihak. 

Rural-urban seperti tiada akhir untuk disemai. Jika itu soal cinta, mungkin remaja jaman kiwari akan menamainya love-hate relationship. Yang tetap akhirnya manusia itu sendiri, perjalanan demi perjalanan akan dicapai sebelum kematian. 

Fiksi-fiksi dibuat, sastra ditebar supaya dibaca dan kemudian diingat. Dan kita, tidak pernah sama setiap waktunya. Kedatangan kita sebagai mahkluk urban akan membawa kita sama sekali menjadi lain, dan jadi liyan jika kembali ke desa.

Surakarta, 20 September 2022.

#agustaisme

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun