Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bill Gates dan Candu Rerasan Kita

10 Mei 2021   07:51 Diperbarui: 10 Mei 2021   12:55 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bill Gates, pemilik perusahaan raksasa microsoft dikabarkan bercerai dengan istri yang mendampinginya selama 27 tahun. Dengan meninggalkan 3 anak dengan romantis salah satu orang terkaya di dunia ini menuliskannya dalam nada sendu di media sosialnya.

Globalisasi lewat internet semakin mempercepat laju informasi. Tampak  sebagai sebuah arus,  berita menarik lewat transmisi digital ini mengusik banyak orang di media sosial. Seperti biasa, ada idiom berita yang buruk adalah berita yang baik, seolah-olah kita dibiasakan untuk menelan sebagai sebuah kelaziman jaman. Demikian pula dengan berita perceraian Bill, dalam sekejap menjadi perbincangan hangat di twitter. 

Fenomena yang menarik tentu adalah fokus respon netijen yang berujar bahwa kekayaan bukanlah segalanya. Hal ini menjadi menarik mengingat lagi-lagi kapitalisme terhitung sukses membawa dunia pada satu parameter yang sama. Uang. Hingga kemudian segala bentuk dinamika dari manusia diukur dengan parameter tersebut. Termasuk hal-hal yang bersifat pribadi seperti hubungan, pernikahan sampai perceraian.

Entah sejak kapan tradisi ini menjadi lestari, sebagai bentuk perhatian karena manusia sebagai mahkluk sosial tentu sebenarnya normal-normal saja kita berempati atau merespon sesuatu. Namun jika respon berdalih sosial ini kemudian menjadi berlebihan, adalah hal lain. Bahkan orang lain kemudian seperti punya kepentingan untuk menghakimi sesuatu hal berdasarkan informasi secuil. Melambungkan balon berisi asumsi untuk diledakkan ke udara.

Cukup diamini bukan akhirnya mau tidak mau kepemilikan kapital sangat diminati dari ketokohan seseorang. Apalagi di negara seperti Indonesia yang sangat bersosial, menerima banyak arus dari berbagai perubahan dunia seperti banyak negara bekas koloni lainnya, kemenangan kapitalisme pasca perang dunia ke-2 sangat mengubah kebudayaan masyarakatnya suatu hari.

Memang tampak sangat jumawa jika manusia berkilah bisa hidup tanpa uang/ kapital lainnya hari ini. Mau tidak mau sistemnya sudah ada dan berlangsung, beragam kuasa dan lembaga -- lembaga kuasa sudah mendesain arah gerak manusia yang sekarang sukses untuk dikooptasi dalam kebutuhan, kerja dan pemenuhannya dengan uang.

Maka akan sangat naif sebenarnya ketika Bill Gates bercerai lalu muncul statemen bahwa kekayaan bukan segalanya. Sebuah kontradiksi di netijen terjadi, meskipun ini bukan cacat logika tapi memang tidak seharusnya menghakimi sesuatu pada kadar yang tentu punya banyak efek untuk keberlangsungan sebuah keluarga. Dalam hal ini persoalan ekonomi.

Jonathan Haidt dalam buku terbarunya Righteous Mind menulis :

"the ethic of community is based on idea that people are, first and foremost, members of larger entities such as families, teams, armies, companies, tribe, and nations. 

These larger entities are more than the sum of the people who compose them."

Dalam tatanan masyarakat seolah kemudian menjadi wajar bahwa komunalitas dijunjung diatas individualitas. Hal ini semakin tumbuh subur ketika masyarakat di negara seperti kita rajin kumpul-kumpul, apapun motifnya dari yang purba karena biologis sampai hal-hal yang muncul kemudian seperti ideologi dan tentu yang fundamental untuk dijadikan pengikat renyah hari ini adalah uang.

Komunalitas yang sangat kuat ini menimbulkan efek bahwa segala yang terjadi didalam komunal individu wajib tahu, dan merasa bahwa komunal itu adalah bagian dari individu juga. Yang kemudian menghasilkan sikap individu ingin mengurusi apa yang terjadi di dalam kawanan.

Kecenderungan manusia berkawan -- karena mahkluk sosial -- ini kemudian dijadikan tradisi turun-temurun, dalam persoalan etis kadang individu juga dinistakan jika tidak loyal terhadap kawanan terdekatnya seperti keluarga, suku, agama, organisasi sampai perusahaan dan partai politik.

Ada rayuan gombal juga kan di dunia kerja yang kadang bicara bahwa perusahaan ini adalah keluarga harus dirawat bersama dan seterusnya. Lihat mitos-mitos ini dipelihara, didoktrinkan lalu diulangi lagi oleh mereka yang dianggap pemimpin kawanan, atau yang punya kuasa dalam menentukan arah gerak dari kawanan. Padahal jika mau dipikir lagi secara logis perusahaan dan komunalitas yang terjadi biologis maupun ideologis tentu saja berbeda. Manusia bekerja di perusahaan karena konsesi, seperti barter skil yang ditukar dengan uang, tapi hal semacam ini terus dibiarkan.

Ada lagi misalnya didalam sebuah gerakan yang terafiliasi karena ideologi dan politik tertentu, sikap untuk loyal ini juga kadang berlebihan, sampai tidak ada ruang kritik bagi mereka yang ada di puncak, dan orang yang dipuncak ini persis seperti yang dibicarakan Haidht selalu merasa ingin mengurusi kawanan lain yang ada dalam kendalinya secara berlebihan, dan mengabaikan hak-hak individu.

Laris manisnya rerasan terhadap apa yang terjadi di dunia luar kerapkali juga bermotif luapan emosi karena sesuatu hal. Dalam masyarakat yang butuh pelarian dan lacuran dari segala masalah yang menempa hidupnya, salah satu bentuk eskapis dari keadaan adalah rerasan. Ada banyak orang yang kurang kerjaan, sedang diterpa konflik keluarga, atau konflik dalam pertemanan membuat kegelisahan dan kemarau panjang didalam batin mereka. Mencibir orang lain ini justru menjadi alat pelarian dan dalih untuk menutupi kekurangan diri.

Alih-alih mencoba melihat kejadian secara lebih akurat, jatuhnya hanya pada kemarahan yang tanpa tujuan. Sikap-sikap yang tidak perlu kemudian terjadi. seperti minggu lalu ada kejadian sate beracun yang muncul juga dari penatnya hidup, kemudian muncul resiko atas tindakan hingga membahayakan nyawa orang lain.

Perceraian memang bukan hal yang langka, disekeliling kita juga bisa merekam betapa banyak sekali kejadian ini. Dalam kacamata kejadian, kasus Bill Gates tentu biasa saja dan yang menjadi hal menarik adalah orang sekaya dia bisa bercerai. Ini kan ada persoalan anggapan pembaca medsos yang mengira bahwa orang kaya (karena segala kebutuhan materialnya tercukupi) pasti hidup bahagia, sejahtera jauh dari idiom cerai. Sebaliknya, mereka pernah mengalami betapa kekurangan uang bahkan jatuh miskin kemudian menjadi pemantik api konflik antar keluarga. Data statistik kita mencatat bahwa angka perceraian di Indonesia peringkat pertamanya cek-cok, yang kedua adalah persoalan ekonomi. Dari faktor mayor inilah kasus Gates kemudian jadi seksi, karena peristiwanya lain dengan kacamata standar masyarakat kita.

Dorongan komunalitas, dorongan individu yang ingin eksis dalam komunal mendaur segala kecenderungan untuk mengurusi hal-hal yang jauh dari jangkauan mereka. Lagi-lagi karena ini biasanya tindakan eskapis, ada kenikmatan dari rerasan tersebut. Dari komunal biologis sampai tataran negara gosip menjadi komoditas yang juga langgeng di media massa,

Apakah kalian juga sama?

Surakarta, 10 Mei 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun