Desa kini menjadi penting karena setelah zona-zona merah di kota mulai mengalami penurunan angka terdampak, puluhan ribu pemudik, perantauan dan mahasiswa yang balik ke kampung adalah PR besar pemerintah Desa.Â
Kadang sekilas akan seperti pertaruhan, Apakah Desa mampu mempresentasikan hadirnya Negara ketika wabah melanda, desa kini adalah harapan baru masyarakat, sebaliknya Permendesa ini juga bisa menjadi ajang mroyek dari sebuah proyek didanai oleh Negara.
Beberapa desa memang optimal, mengalokasikan, memantau dengan baik penanganan wabah ini. Setidaknya itu yang saya amati di hampir 20-an kelurahan/desa berdasarkan pantauan dan laporan dari kawan-kawan.Â
Banyak dari Lurah dan Kepala Desa mereka serius untuk menghimbau, terjun ke lapangan untuk mengawasi  berlangsungnya pembangunan sarana dan prasarana untuk memperlambat laju penyebaran virus ini.
Tapi banyak lainnya menemui banyak masalah, baik secara struktural, lintas sektoral desa dan masalah sosial sendiri berhadapan dengan massa.
Perlu diketahui bahwa pucuk-pucuk pimpinan desa kita sekarang adalah orang-orang yang dilahirkan serta besar di masa Orde-Baru yang kental dengan militeristik, megalomania kekuasaan, bermental "Yes-Man" lalu juga sarat dengan budaya Monumental-Mercusuar sebagai ajang pamer kesuksesan mengelola sebuah wilayah. Mental inilah yang membentuk watak sebagian besar pemangku jabatan kita hari ini yang kemudian seperti gayung bersambut dengan mental praktis masyarakat seperti yang diuraikan diatas.Â
Rasa-rasanya sangat klop dan sulit untuk menciptakan kondisi baru dimasyarakat, meskipun banyak anak-anak muda kini mulai masuk pula pada jabatan-jabatan taktis sebagai pemangku kebijakan.Â
Tapi tetap saja, sikap Narsis mereka yang "lebih tua dan lebih dulu" ini juga menjadi budaya yang menghambat pula kepada optimalisasi penanganan wabah.
Banyak orang ketika memegang kuasa justru menjadi jumawa, kesenangan mencecap jabatan ini membuat mereka abai kepada realitas sesungguhnya dari kondisi sosial, psiko-sosial yang terjadi diwilayah yang mereka pangku.
Beberapa minggu kemarin ketika tren besar memakai masker, hand-sanytizer, dan penyemprotan mencuat di kampung-kampung. Momen untuk penanganan wabah ini justru menjadi ajang cari panggung oleh tokoh-tokoh ini. Mereka hanya datang, berswa-foto, foto bersama warga, lalu pergi dan dijual ke media sosial mereka masing-masing untuk membuktikan ke publik bahwa mereka bekerja. Hah, bekerja?
Limpah-limpahan tugas kemudian terjadi, mereka yang tua terkadang merasa lebih superior untuk memerintah pejabat fungsional muda  untuk terus mengurusi banyak hal. Kaum tua ini hanya leha-leha dan dibayar oleh Negara. Naif.