Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wabah, Resistensi Desa, Dana dan Kuasa

6 Mei 2020   05:46 Diperbarui: 6 Mei 2020   05:41 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: medievalists.net

Wabah di seantero negeri semakin gencar menjadi, berita konspirasi bak tai yang laku disiang hari, anak-anak kebingungan, bapak-bapak hanya main proyek, pundi-pundi uang ditebar didesa-desa, dan mentalitas kita masih praktis, monumental dan mercusuar, sementara ketahanan pangan, kenyamanan psikis diabaikan, kini hadir-tidaknya negara tergantung bebannya di pundak pemangku Desa.

BLT
Memasuki bulan Mei, hari ini hari ke-63 kebijakan Work From Home berlangsung. Tentunya beragam kejadian terus terjadi, setelah diteken kebijakan pembatasan sosial skala besar (PSBB), lalu muncullah Permendesa menyoal dialihkannya fungsi anggaran Dana Desa untuk penanggulangan ini wabah. Peraturan Menteri Desa No. 6 tahun 2020, demikian payung hukum yang sudah keluar.

Gaungnya memang tidak sebesar subsidi listrik, bebasnya denda pajak kendaraan, atau resmi turunnya bea BPJS, tapi satu yang cukup jadi perhatian.  

BLT atau bantuan langsung tunai kini menjadi permen manis ditengah wabah. Memang bisa dipahami, dalam kondisi masyarakat yang sedang stuck karena bencana, bantuan taktis berupa uang memang bantuan yang paling luwes untuk disalurkan ke masyarakat. Namun justru menggulirkan bola salju berikutnya, keputusan pemerintah pusat ini kemudian menjadi problem di pemerintah dibawahnya. 

Dengan angka penyaluran 25-35 % dari total anggaran Dana Desa (800-1,3 M) tentu ini akan jadi program menggiurkan di Desa. Selain soal mekanisme pendataan, tentu juga soal pengawasan penyaluran BLT ini, progam ini juga akan sangat sarat kepentingan subjektif elit pemerintah desa jika tanpa kontrol yang kuat dari massa. Rawan penyelewengan dan penggelapan.

Bantuan langsung tunai ini rencananya akan diberikan kepada KK Miskin baru diluar PKH-nya Kemensos, dengan nominal 600ribu setiap bulan, terkhusus untuk mereka yang di PHK, pedagang kecil dan UMKM yang mandeg jualannya karena wabah, pekerja informal yang tak bisa mendapatkan penghasilan selama wabah serta perantau yang tidak mendapat suplai penghasilan selama pandemi.

Masalah yang terjadi adalah bagaimana pendataan, siapa yang mendata, siapa yang menjaga objektivitas data, atau ini akan berakhir menjadi konflik kepentingan elit desa. Mereka yang punya "akses"  dengan pejabat struktural desalah yang mendapatkan prioritas bantuan. 

Setelah pendataan belum lagi berfikir soal pembagian dana BLT ini, apakah juga tidak akan menimbulkan kecemburuan dan kesenjangan lagi dimasyarakat, atau dalam tahapan yang serius ak`an bisa memicu persoalan menjadi konflik sosial yang lebih tajam.

Seperti kita tahu dalam pandemi seperti ini, masyarakat sangat mudah disulut karena persoalannya kembali ke pemenuhan kebutuhan dasar, yang juga sudah blunder sejak penetapan PSBB tanpa penjaminan sebagaimana diatur didalam UU Karantina.

Masyarakat dipaksa tarung sendirian dijalan, tanpa pengawasan, kini ketika PSBB benar-benar diberlakukan efeknya lebih berat lagi. PKL menjadi kebingungan mencari nafkah, ojek oflline maupun online lebih terasa lagi, belum jika kita berbicara soal Urban-survival di kota, mereka yang hanya bertahan tanpa produksi, bahkan mereka yang tidak punya administrasi legal wilayah ini kelaparan, dan mereka inilah yang menjadi hulu picu pertama ketika ketidakadilan penyaluran BLT ini terjadi.

Apakah BLT adalah solusi terbaik? Atau kenapa BLT justru yang menjadi paling dipertanyakan, padahal Permendesa tidak hanya membahas soal penyaluran BLT.

Belum memang budaya masyarakat kita yang terus menerus digeser untuk suka instan, akhirnya sangat mencintai apapun yang bisa didapat dengan cepat, praktis serta bisa digunakan secepatnya. Arus konsumerisme yang terjadi sejak tahun 80-an membuat ketika kita berpacu untuk terus menerus membeli dan membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan, kini menghancurkan sendiri pemertahanan finansial masyarakat. Seperti jargon ironis yang didapatkan di masyarakat, "belum sah jadi warganegara Indonesia kalo belum berhutang".

Ketika krisis datang, hutang tak terbayar dan kekacauan terjadi bahkan diskala kecil rumah tangga. Kalaupun misalnya BLT ini diberikan, problematika berikutnya adalah seberapa jauh masyarakat mampu bertahan dengan uang 600ribu per-bulan, atau ketidaksiapan masyarakat untuk "berpuasa", karena memang tidak pernah dilatih mengakibatkan efek serius pada cash-flow. 

Dan seperti ketika sudah 'kaliren' kontrol massa terhadap uang akan bias. Gelap mata terjadi, finansial sama bobroknya ketika belum mendapat bantuan. Mentalitas yang muncul berikutnya bisa saja seperti, "Ah, besok juga dapat bantuan lagi, bukan untuk berhemat dan meningkatkan efisiensi dana taktis.

Efek yang tak kalah serius adalah Urban-Survivor, mereka ini bisa sangat mungkin tidak akan pernah mendapat BLT. Entah karena kelalaian pendata, atau terbiasanya kampung di kota untuk tetap cuek kepada penghuni kos. 

Bisa juga terbalik posisinya, dikala pandemik seperti ini mereka kaum Urban yang tidak "asli" dari wilayah tersebut, juga terbiasa individual selama sebelum pandemik, tak terbiasa bersosialisasi. Egoisme terjadi.

Soal "asli" dan "tidak asli" ini juga akar masalahnya di persoalan kultural. Seolah menempatkan mereka yang mendiami wilayah tersebut sejak lahir, adalah mereka yang lebih berhak dominan daripada mereka yang pendatang, atau cuman numpang kos. 

Over-Glorifikasi soal keaslian, pribumi ini yang juga memunculkan diktaktor-diktaktor sipil baru di kampung-kampung. Karena ketakutan, kecemasan sekaligus naiknya tingkat kecurigaan respon mereka menjadi represif dan defensif.

Diktaktor lokal kini menjadi semakin jumawa, karena merasa berjasa kepada kampungnya bisa mengatur lalu-lintas masuk orang ke kampung. Mengontrol ini itu, mereka mendapatkan stimulasi masa lalu di orde baru.

Maka efeknya jelas bermental sok' militeristik tapi kadang juga kacau soal komando. Hanya main gengsi saja, kapan lagi bisa memunculkan ego. Mendapatkan panggung sekaligus eksistensi di masyarakat.

PANGGUNG KUASA MERCUSUAR

Desa kini menjadi penting karena setelah zona-zona merah di kota mulai mengalami penurunan angka terdampak, puluhan ribu pemudik, perantauan dan mahasiswa yang balik ke kampung adalah PR besar pemerintah Desa. 

Kadang sekilas akan seperti pertaruhan, Apakah Desa mampu mempresentasikan hadirnya Negara ketika wabah melanda, desa kini adalah harapan baru masyarakat, sebaliknya Permendesa ini juga bisa menjadi ajang mroyek dari sebuah proyek didanai oleh Negara.

Beberapa desa memang optimal, mengalokasikan, memantau dengan baik penanganan wabah ini. Setidaknya itu yang saya amati di hampir 20-an kelurahan/desa berdasarkan pantauan dan laporan dari kawan-kawan. 

Banyak dari Lurah dan Kepala Desa mereka serius untuk menghimbau, terjun ke lapangan untuk mengawasi  berlangsungnya pembangunan sarana dan prasarana untuk memperlambat laju penyebaran virus ini.

Tapi banyak lainnya menemui banyak masalah, baik secara struktural, lintas sektoral desa dan masalah sosial sendiri berhadapan dengan massa.

Perlu diketahui bahwa pucuk-pucuk pimpinan desa kita sekarang adalah orang-orang yang dilahirkan serta besar di masa Orde-Baru yang kental dengan militeristik, megalomania kekuasaan, bermental "Yes-Man" lalu juga sarat dengan budaya Monumental-Mercusuar sebagai ajang pamer kesuksesan mengelola sebuah wilayah. Mental inilah yang membentuk watak sebagian besar pemangku jabatan kita hari ini yang kemudian seperti gayung bersambut dengan mental praktis masyarakat seperti yang diuraikan diatas. 

Rasa-rasanya sangat klop dan sulit untuk menciptakan kondisi baru dimasyarakat, meskipun banyak anak-anak muda kini mulai masuk pula pada jabatan-jabatan taktis sebagai pemangku kebijakan. 

Tapi tetap saja, sikap Narsis mereka yang "lebih tua dan lebih dulu" ini juga menjadi budaya yang menghambat pula kepada optimalisasi penanganan wabah.

Banyak orang ketika memegang kuasa justru menjadi jumawa, kesenangan mencecap jabatan ini membuat mereka abai kepada realitas sesungguhnya dari kondisi sosial, psiko-sosial yang terjadi diwilayah yang mereka pangku.

Beberapa minggu kemarin ketika tren besar memakai masker, hand-sanytizer, dan penyemprotan mencuat di kampung-kampung. Momen untuk penanganan wabah ini justru menjadi ajang cari panggung oleh tokoh-tokoh ini. Mereka hanya datang, berswa-foto, foto bersama warga, lalu pergi dan dijual ke media sosial mereka masing-masing untuk membuktikan ke publik bahwa mereka bekerja. Hah, bekerja?

Limpah-limpahan tugas kemudian terjadi, mereka yang tua terkadang merasa lebih superior untuk memerintah pejabat fungsional muda  untuk terus mengurusi banyak hal. Kaum tua ini hanya leha-leha dan dibayar oleh Negara. Naif.

Budaya Monumental ini tak hanya berhenti di situ, ada pula desa yang malah lebih memprioritaskan pembangunan infra-struktur ditengah wabah. Mereka berfikiran kolot bahwa proyek yang mereka buat harus berhasil, juga mereka bisa ngambil keuntungan dari proyek-proyek ini untuk menggemukkan perut dan rumah mereka. Jalan-jalan yang masih bagus, talut yang masih layak tetap dibangun, tetapi rakyat dibiarkan tidak mendapatkan penanganan layak.

Memangnya kebutuhan massa hanya masker? atau massa juga tidak membutuhkan jualan mulut yang terus mengkampanyekan warga agar tetap dirumah, tapi pemangku kekuasaan tidak memikirkan, bahwa dirumah-pun roda kehidupan juga berputar.

Tak hanya persoalan pemenuhan kebutuhan perut, banyak kendala teknis dari "new normal" ini. Seperti gawai, internet untuk warga yang menunjang pekerjaan sekaligus sekolah untuk anak-anak. Juga soal putaran ekonomi-mikro didalam desa, atau hiburan selama pandemik. 

Anak-anak muda kita yang milenial sudah tidak lagi menikmati obrolan beku dirumah, mereka butuh sesuatu yang lebih segar, mereka butuh luapan untuk menekan stres dan depresi yang mengejar mereka selama dirumah. Pendidikan dan Kebudayaan harus terus berlangsung pula.

Karena kebudayaan merupakan jalan yang paling halus untuk menekan berkembangnya bencana biologi menjadi bencana sosial. Keamanan fikiran ini juga harus dijaga, tentu ini peran banyak pihak mulai dari tokoh, lembaga seni, kaum agamawan sampai mereka yang menyediakan arus informasi tetapi semua didalam bingkai desa sebagai managerial. 

Kalau faktor-faktor ini diabaikan yang jangan disalahkan jika nanti berakibat lebih serius. Perlu diawasi bersama, kontrol terhadap penguasa supaya bisa dilaksanakan secara optimal tidak asal-asalan dan yang penting menyenangkan atasan.

RESISTENSI KETAHANAN PANGAN

Sampai ketika tulisan ini saya buat, belum ada satupun sample vaksin yang teruji klinis mampu menyembuhkan virus. Belum pula ada kekuatan alternatif yang mampu menjamin bahwa metode yang dipakai mampu menyembuhkan mereka yang terdampak. Artinya kondisi ini bisa berlangsung sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Badan Intelejen Negara menginformasikan bahwa puncak ledakan penyebaran akan terjadi di bulan Juli 2020. Analisanya bahkan ada kemungkinan ledakan kedua, setelah masyarakat terlena ketika angka turun signifikan, didukung oleh progesi silaturahmi lebaran akan memunculkan gelombang baru penyebaran virus tentu ini harus diwaspadai semua pihak sebagai sebuah pertarungan dalam jangka waktu lebih panjang.

Poin penting yang tercantum di Peraturan Menteri Desa yang harus segera direalisasikan adalah Ketahanan Pangan. Mumpung hari ini sudah ada BLT, dan mereka yang tidak mendapatkan bantuan masih terus bisa bertahan dengan menggunakan tabungan. Saat ini adalah momentum yang tepat bagi desa bersama masyarakat untuk mempersiapkan ketahanan pangan.

Simulasinya ketika kemampuan massa sudah tidak bisa menutupi roda hidup sehari-hari akan berbanding lurus dengan reaksi masyarakat. Belum kelangkaan bahan makanan pokok dikota-kota juga akan memicu naiknya harga, sesuai hukum demand-supply, di kondisi massa yang tidak punya pendapatan akan menaikkan kemungkinan terjadinya penjarahan. 

Kalau sikap pemangku kebijakan masih saja represif dengan menggunakan tentara, polisi maupun militansi sipil desa dan perguruan silat untuk berhadap-hadapan dengan massa yang kelaparan, maka kemana lagi kalau tidak menuju kehancuran sebuah tatanan sosial.

Karena itulah, Kota-Desa harus mulai menyiapkan lagi lumbung-lumbung kebutuhan pangan supaya bisa terus sustain sampai wabah berakhir. Bisa dimulai dari padi atau bahan makanan lain yang bisa ditimbun secukupnya untuk pemenuhan kebutuhan suatu wilayah. Kalau perlu mengoptimalkan alat-alat produksi di desa-desa, kota harus bekerja sama dengan desa terdekat supaya terjadi hubungan timbal balik putaran ekonomi. Karena selama ini hanya desa yang masih mempunyai perangkat yang cukup memproduksi bahan pangan.

Selain itu juga perlu mengajak masyarakat untuk mulai menanam sayur dan bumbu-bumbu dapur untuk kebutuhan pribadi mereka. Kebijakan ini harus diterapkan apalagi wilayah perkotaan karena bisa saja ketika semua berhenti stok sayuranpun akan berhenti. 

Desa harus berfikir dalam jangka lebih panjang, setidaknya ketika hari ini mulai menanam 3-4 bulan ke depan jika keadaan tidak berubah desa lebih siap menghadapi perubahan-perubahan.

Luasnya lahan di desa ini jika dikelola dengan baik bisa menghasilkan surplus bahan pangan yang juga bisa didistribusikan ke kota-kota tentu dengan pengawalan ketat. 

Karena bisa saja terjadi seperti ketika Gempa Lombok dan bencana-bencana besar lainnya, pemalakan bantuan-bantuan pangan bisa terjadi disepanjang jalan sebelum sampai ke tujuan bantuan. Disinilah efisiensi jarak perlu diperhatikan. Akhirnya ini juga berbicara soal kerjasama lintas pemangku jabatan.

 "Di Lumbung kita menabung, datang paceklik kita tak bingung" lirik Iwan Fals ini yang menurutku pas tentang bagaimana idealitas sebuah desa dalam menghadapi perpanjangan masa penularan wabah. 

Lumbungnya apa saja? bisa mengacu kepada Permendesa selain ketahanan pangan juga menyiapkan pendidikan, hiburan,  perbaikan gizi masyarakat, pemajuan kebudayaan desa, atau stimulan seperti kelas-kelas untuk menanam, hidroponik maupun budidaya ikan dirumah dengan bahan-bahan yang efisien yang tidak terlalu memakan biaya serta prosesnya harus mudah dipahami untuk banyak pihak. 

Lumbung immaterial seperti penkondisian rasa aman melalui kegiatan keagamaan, kebudayaan, membuat geliat aktivitas yang produktif namun tetap menjaga jarak agar tetap aman. 

Juga terus menerus untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang perubahan-perubahan, update terbaru, serta meningkatkan pemahaman masyarakat soal pandemik supaya tidak terlalu menggampangkan juga tidak terlalu berlebihan dalam mewaspadai wabah.

Seperti tulisan saya terdahulu kuncinya penanganannya tetap sama Kerjasama semua pihak, untuk menimbulkan kemandirian, supaya terus mampu bertahan supaya semuanya selamat, dan menekan angka penularan wabah.

Selamat berbenah, berpuasa, bertahan dan bersikap dalam menghadapi segala perubahan keadaan. Berkah-berkah untuk semua mahkluk.

Surakarta, 06 Mei 2020
Indra Agusta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun