Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wabah, Resistensi Desa, Dana dan Kuasa

6 Mei 2020   05:46 Diperbarui: 6 Mei 2020   05:41 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: medievalists.net

Apakah BLT adalah solusi terbaik? Atau kenapa BLT justru yang menjadi paling dipertanyakan, padahal Permendesa tidak hanya membahas soal penyaluran BLT.

Belum memang budaya masyarakat kita yang terus menerus digeser untuk suka instan, akhirnya sangat mencintai apapun yang bisa didapat dengan cepat, praktis serta bisa digunakan secepatnya. Arus konsumerisme yang terjadi sejak tahun 80-an membuat ketika kita berpacu untuk terus menerus membeli dan membeli barang-barang yang tidak kita butuhkan, kini menghancurkan sendiri pemertahanan finansial masyarakat. Seperti jargon ironis yang didapatkan di masyarakat, "belum sah jadi warganegara Indonesia kalo belum berhutang".

Ketika krisis datang, hutang tak terbayar dan kekacauan terjadi bahkan diskala kecil rumah tangga. Kalaupun misalnya BLT ini diberikan, problematika berikutnya adalah seberapa jauh masyarakat mampu bertahan dengan uang 600ribu per-bulan, atau ketidaksiapan masyarakat untuk "berpuasa", karena memang tidak pernah dilatih mengakibatkan efek serius pada cash-flow. 

Dan seperti ketika sudah 'kaliren' kontrol massa terhadap uang akan bias. Gelap mata terjadi, finansial sama bobroknya ketika belum mendapat bantuan. Mentalitas yang muncul berikutnya bisa saja seperti, "Ah, besok juga dapat bantuan lagi, bukan untuk berhemat dan meningkatkan efisiensi dana taktis.

Efek yang tak kalah serius adalah Urban-Survivor, mereka ini bisa sangat mungkin tidak akan pernah mendapat BLT. Entah karena kelalaian pendata, atau terbiasanya kampung di kota untuk tetap cuek kepada penghuni kos. 

Bisa juga terbalik posisinya, dikala pandemik seperti ini mereka kaum Urban yang tidak "asli" dari wilayah tersebut, juga terbiasa individual selama sebelum pandemik, tak terbiasa bersosialisasi. Egoisme terjadi.

Soal "asli" dan "tidak asli" ini juga akar masalahnya di persoalan kultural. Seolah menempatkan mereka yang mendiami wilayah tersebut sejak lahir, adalah mereka yang lebih berhak dominan daripada mereka yang pendatang, atau cuman numpang kos. 

Over-Glorifikasi soal keaslian, pribumi ini yang juga memunculkan diktaktor-diktaktor sipil baru di kampung-kampung. Karena ketakutan, kecemasan sekaligus naiknya tingkat kecurigaan respon mereka menjadi represif dan defensif.

Diktaktor lokal kini menjadi semakin jumawa, karena merasa berjasa kepada kampungnya bisa mengatur lalu-lintas masuk orang ke kampung. Mengontrol ini itu, mereka mendapatkan stimulasi masa lalu di orde baru.

Maka efeknya jelas bermental sok' militeristik tapi kadang juga kacau soal komando. Hanya main gengsi saja, kapan lagi bisa memunculkan ego. Mendapatkan panggung sekaligus eksistensi di masyarakat.

PANGGUNG KUASA MERCUSUAR

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun