Pernikahan yang sempurna. Hari-hari tanpa cela. Di mana seluruh kebahagiaan begitu Instagramable. Meski ternyata, tak berjalan selamanya.Â
Riak-riak kecil berganti pusaran air. Aliran tenang berganti arus yang deras. Penerimaan tentang belum hadirnya buah hati, menjadi duri yang menyakitkan.Â
Hingga kata-kata mesra tak terdengar lagi. Dan semua masalah, diselesaikan lewat setumpuk alasan. "Aku lelah, terserah kamu mau apa!" Â
Bahtera pun karam, Ivana limbung diterjang badai. Nakhoda berenang ke tepian. Meninggalkan seluruh kengerian di meja pengadilan. Dan secarik kertas, mengakhiri ikatan suci.Â
Ivana menepi di depan halte. Mengatur nafas yang kembang kempis. Tanpa terasa, air mata mengalir. Ia pun menghapus sisa tangisan, dengan sehelai tisu yang dibeli dari seorang gadis kecil di depannya.Â
Momoy kembali menderu. Haru. Ivana becermin pada kaca spion dan tersenyum. Menutup lembaran kelam. Dan menerima takdir dengan hati yang tenang. Beranjak, dan terus melaju ke depan.Â
Debu-debu jalanan, asap hitam, dan kemacetan kota, terbayar tuntas dengan suasana alam. Padang rumput dan perbukitan. Keresahan telah terlewati.Â
Hingga Ivana terhenti di sebuah taman di tepi danau. Dan memarkirkan Momoy di depan cafe yang tersusun dari dua buah container. Ia menarik nafas panjang, sebelum mulai melangkah.Â
Ada harapan yang ingin disampaikan. Ada seseorang yang ingin ditemui. Dan do'a pun diucapkan.
"Bayu, apa kabar?"Â
Barista bernama Bayu terlihat kikuk, dan salah tingkah, menyadari Ivana menyapa di meja depan. Raut wajahnya cukup tegang, untuk menanyakan pesanan.Â