Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kencan Buta Larasati

3 Oktober 2021   10:14 Diperbarui: 4 Oktober 2021   22:35 2114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang perempuan menatap layar gadget (Gambar: Saydung89 Via Pixabay)

Banyak yang ingin kulakukan sebelum pukul dua belas malam. Bukan berdansa dengan pangeran tampan, atau larut di kemeriahan pesta. Lantas meninggalkan sepatu kaca di anak tangga istana. Layaknya dongeng, kehidupan penuh keajaiban. Namun kenyataannya, harus selalu diperjuangkan. 

Namaku Larasati Magdalena, umur tiga puluh tiga tahun. Bekerja sebagai kepala administrasi pembelian di sebuah perusahaan swasta. Mencari jodoh yang seiman, berwibawa dan mapan. 

Hanya itu yang dapat kucantumkan pada aplikasi kencan buta. Malam ini adalah program pertemuan pertama. Dan terakhir kurasa. Tindakan coba-coba, setengah terpaksa. 

Ide gila itu terlintas saat kupastikan tak ada lagi jalan pintas. Malas rasanya mengais kenangan mantan atau mencoba menjalin hubungan dengan kenalan lama. Perasaan tak bisa dipaksakan meski tengah terdesak. 

"Kapan kamu punya pasangan?" Dari dua bulan lalu, ayah dan ibu tak berhenti bertanya. Pemicunya kasih sayang dan cinta. Mereka tak pernah memaksakan hal yang membuatku tak nyaman. 


Namun soal pernikahan, lambat-laun akan menjadi pertanyaan. Kutahu mereka tak pernah peduli omongan orang. Selama tak ada siapapun yang dirugikan. 

Bagaimanapun, akulah yang selama ini berjuang untuk keluarga. Melepaskan diri dari hidup susah dan pandangan sebelah mata. Dan bekerja, adalah satu-satunya cara. 

Malam itu aku berdandan seperti biasa. Tak berlebihan. Aku tak mau terlihat seperti dakocan atau ratu pantai selatan. Toh bila memang berjodoh, dia mesti menerimaku apa adanya, bukan?

Program dimulai pukul delapan malam. Dan aku merasa konyol datang lebih awal. Di sebuah cafe yang cukup romantis. Aku akan berusaha mendapatkan pasangan. Mencoba peruntungan akan kuasa Tuhan. 

Kami diberi waktu satu jam untuk saling mengenal pasangan. Bila cocok, tak perlu pindah meja. Namun bila tak berkenan, masih ada tiga sesi pertemuan tersisa. 

Tak sedikitpun aku gugup. Terbiasa bertemu klien, menyepakati pekerjaan besar, dan menjadi andalan untuk negosiasi harga, membuatku terbiasa berkata-kata. Interaksi formal dan non formal sama saja. Kepercayaan diriku sudah di atas rata-rata. 

Lelaki di depanku terlihat kaku. Senyum dua jari yang terpaksa. Dia menatapku seperti menatap guru matematika. "Paras ini diturunkan ayah ibu, bukan aku yang mau," ucapku dalam hati. 

Satu jam terlewati hanya untuk makan bersama. Basi. Kuputuskan mengambil sesi kedua. Lelaki itu masih terpaku di sana. 

Lelaki kedua memberi kesan baik. Tatapan hangat dengan kata-kata tertata. Dia memperkenalkan diri sebagai diplomat. Namun bagiku, gelagatnya seperti tukang sulap. Terlalu banyak yang ditampilkan. Dia tak memberiku kesempatan bertanya. 

Perbincangan berjalan sesuai kehendaknya. Ia memberiku satu pertanyaan. Dan berlanjut sebuah pertunjukan. Kutebak, lelaki ini mencari pasangan yang gampang diatur, atau dikelabui. Dan itu bukan aku. 

Benar saja, kali ini aku yang ditinggalkan. Terpaku di meja dengan secangkir matcha. Menanti ada peserta yang menghampiri. "Ini takkan berhasil," keluhku. 

Lelaki ketiga datang bersama sekuntum mawar dan senyuman. Lelaki itu adalah Fitra. Kepala kantor tempatku bekerja. Dia tak dapat menahan tawa. Menyapaku sambil terkekeh. "Bila ada orang kantor yang tahu kita di sini, habislah," ucapnya. 

Entah apa yang merasukiku. Bukankah seharusnya aku terkejut atau terpana. Dia orang nomor satu di perusahaan. Direktur utama. Muda dan berprestasi.

Bos yang menginspirasi kami pada kerja keras dan pantang menyerah. Figur teladan yang menunjukkan prestasi dan jabatan tinggi dapat diraih dari bawah. 

Namun di luar dugaan, sikap dan selera humor yang ditunjukkan membuatku merasa nyaman. Perasaan yang sama yang kurasakan, saat bercengkrama dengan pacar pertama di kantin sekolah. "Oh, tidak!" 

Kesepakatan pertama dari perbincangan adalah tidak membahas pekerjaan. Dan aku cukup heran, bukankah dia terkenal serius soal pekerjaan. Di ruang rapat, instruksinya berapi-api. 

Kami memang tidak begitu dekat, karena berbeda lingkaran pertemanan. Namun desas-desus berhembus, dia seorang playboy kelas kakap. Dalam hatiku berkata, "Ayolah, Fitra, tunjukkan wajahmu yang sebenarnya." 

"Kau mau memandangiku sepanjang malam, Laras?" ucapnya. 

Kami mulai bercerita. Begitu canggung memanggil namanya. Biasanya dengan awalan "Pak" atau "Bos" kami berbincang. Namun kali ini terkesan begitu akrab. Dia pintar menghilangkan sekat. Dan tak butuh waktu lama untuk merasa dekat. 

Kesan playboy tak sepenuhnya terbukti. Dia sama sepertiku. Tak begitu haus kasih sayang. Dunia kerja lebih menantang, dan tak sadar waktu berputar cepat. 

Namun tak ada kata terlambat untuk menjalin hubungan serius. Kita sendiri yang boleh menentukan, bukan? 

Obrolan malam tadi lebih mirip diskusi, ketimbang kencan buta. Kami saling menggali kepribadian masing-masing. Pertanyaan, pernyataan dan jawaban meluncur mulus. Dan aku terkesan. 

Hingga satu jam terlewati dengan menyenangkan. Namun waktu tak kenal kompromi. Dan aku tidak mau berpindah sesi. Fitra meletakkan sekuntum mawar. Matanya seakan berbicara, ia nyaman bersamaku di sini. 

"Senang bersamamu di sini, Laras. Namun aku mau mencoba sesi terakhir," ucapnya, menarik nafas seraya beranjak. 

Meski kecewa, aku tetap tersenyum. Tak apa. Dia berhak menentukan yang terbaik. Dan aku tak berharap banyak. 

Malam itu Fitra membuatku lupa, bahwa aku tengah berada di acara kencan buta. Dan aku tak dapat menyembunyikan rasa bahagia. Menghabiskan matcha di depanku. Tersenyum. Menghela nafas.  Bersiap mengambil sesi terakhir. Namun tak ada yang datang lagi. 

Hingga bel berdentang di tengah kota. Penghujung malam telah tiba. Tubuhku lemas. Dan mata berkunang-kunang. "Benarkah tak ada waktu tersisa?"

Sekuntum mawar kupandang dalam-dalam. Lalu kuputuskan melangkah pulang. Tak ada penyesalan untuk hari ini. Dan biarlah esok berjalan seperti biasa. 

Lamunanku terhenti. Hingga terlelap dalam gelap. "Que sera sera." 

Rutinitas kantor pagi ini terasa hambar. Kartu ucapan ulang tahun menempel di layar komputer. Sebuah kado tahunan dari perusahaan, tergeletak di atas meja. Dan senyum ini sekadar saja. "Terima kasih, semuanya." 

Sebuah kejutan rutin yang datang bersama kue ulang tahun. Dua tahun lalu, kuminta tak perlu menancapkan lilin. Terlebih lilin berbentuk angka. Mereka mengerti. Dan kami selalu bersenang-senang. 

Hingga dering telepon berbunyi. Kutebak, itu tagihan laporan bulanan dari bagian keuangan. Dan ternyata bukan. Tubuhku merinding kala mendengar suara itu. Dadaku bergetar. Inikah perasaan lama yang kurindukan. "Ya, Tuhan."

"Halo, Laras. Bisakah kita bertemu lagi malam nanti?" Fitra menanti jawaban di ujung telepon. 

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun