Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Integral

9 Juni 2021   11:32 Diperbarui: 10 Juni 2021   02:37 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen: Integral /Gambar: Comfreak via Pixabay.

Kemudian, aku menunjuk pada salah satu kopi renceng di depanku. "Bikinin kopi saja, Bu." 

Ibu pemilik kedai, menghidangkan kopi dengan wajah masam. Namun senyuman dari wajahnya mengembang, saat ku bayar kopi itu dengan pecahan uang seratus ribu rupiah. Dan kamipun dapat bercengkrama dengan damai. 

Dimulai dengan pertanyaan, "mau cari apa ke sini, Mas?" dan diakhiri dengan ucapan, "mampir lagi ya, Mas." 

Di depan sana, bendera merah putih berkibar tertiup angin. Katanya, sejak lima tahun lalu, belum pernah diturunkan. Entah, siapa yang meletakkan di sana. Berkibar lesu di antara bedeng-bedeng kumuh berkarat yang riuh tawa, tangis, dan teriakan anak-anak.

Gerombolan anak-anak berlarian. Mereka terlihat lebih dekil, dari anak di depan ruko tua. Ada yang berkelahi, memaki dan ada yang bermain air di pinggir selokan mampet.

Entah ke mana orangtua mereka. Di mataku, mereka seperti anak-anak abadi dari Neverland. Beranjak dari hutan fantasi, dan bertualang di antara gubuk-gubuk kumuh. 

"Om, bagi duit dong!" 

Bocah kecil ingusan di depanku bertingkah seperti preman. Raut wajahnya terlihat menahan takut. Dua orang anak yang lebih besar, menatap tajam padanya dari kejauhan. 

Karena kasihan, kuambil uang receh dari saku celana. Hanya pecahan dua ribu rupiah. Namun apa yang aku lakukan, mengundang perhatian anak-anak lain. 

Tak lama, mereka berhamburan mengepung dari segala arah. Dengan kata-kata yang sama. 

Ada anak yang meminta dengan ekspresi wajah memelas. Ada anak yang mengumpat dengan kata-kata kotor, dan ada anak yang berusaha merogoh kantung celanaku. Seketika itu, aku mengamankan telepon selulerku. Ku genggam sambil berusaha keluar dari kurungan mereka. 

Setengah berlari, aku berhasil keluar dari sana. Kulihat lelaki tua berbadan kurus, tengah memukul-mukul anjing hitam dengan tongkat bambu. Tepat di pinggir jalan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun