Dan aku mencoba berteriak padanya. Berharap ia menghentikan aksinya. Namun, ia begitu tenang memasukan tubuh anjing hitam itu ke dalam karung.Â
"Cari makan, nih! berisik aja lo!"
Demi apapun, aku hanya terpaku melihat ia melintas santai di depanku. Aksi sadis itu cukup membuat lututku lemas. Dan kata-kata umpatan yang keluar dari mulut lelaki tua itu, tidak kudengar sama sekali.Â
Tiba-tiba telepon seluler yang ku genggam bergetar. Kulihat sebuah pesan dari rumah yang memintaku cepat pulang. Katanya, aku sudah terlalu lama lari pagi. Makan siang di rumah sudah menanti. Istriku baru saja membeli steak dari restoran bintang lima yang baru saja buka.Â
Kulihat icon kamera pada telepon selulerku. Dan baru terpikirkan untuk merekam kondisi lingkungan ini. Bangunan terbengkalai yang kotor penuh sampah, pemilik kedai yang menawarkan layanan PSK, anak-anak terlantar dalam lingkungan kumuh, dan lelaki tua kelaparan yang membunuh anjing.Â
Lingkungan ini tak jauh dari gedung-gedung pencakar langit. Apakah orang-orang di atas sana tak pernah melihat atau mendengar kengerian yang terjadi di bawah sini.
Namun begitu kulihat sobekan poster calon legislatif di bawah pohon Angsana, akupun mengurungkan niat untuk merekam. Mereka yang telah berhasil menjabat legislator di gedung perwakilan rakyat di sana, pasti akan merasa terhina.
Terhina oleh kenyataan yang akan menggerus kredibilitas mereka. Dan menghina wakil rakyat, katanya akan diancam hukuman penjara.Â
Di kota ini, penghinaan pada wakil rakyat adalah ratapan akibat perut lapar, kemiskinan, dan keterbelakangan di daerah pemilihannya. Bukan (hanya) umpatan dari mulut rakyat yang mereka (tidak) wakili.
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian