Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Selamat Pagi, Selabintana

5 Juni 2021   10:14 Diperbarui: 7 Juni 2021   12:48 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Selamat Pagi Selabintana/ Foto: ValentinusSardo5 Via Pixabay.

Aku meninggalkan rumah dengan perasaan kecewa. Hari itu juga aku kembali menemui Ay di rumahnya. Meski aku sempat mengeluh tentang perdebatan dengan ayah. Namun, setiap ucapan yang keluar dari bibir Ay mampu mengobati kekecewaan. 

"Fay, nonton film asyik mereun. Ay pengen." bibir manisnya, mulai terbiasa memanggil namaku dengan sebutan Fay.

"Di Sukabumi mana ada bioskop," gumamku. 

"Bogor lah."

Kami menyusuri kota Bogor layaknya sepasang kekasih. Menikmati setiap jengkal suasana romantis di sepanjang jalan kebun raya. Berbagi semangkuk soto dan melahap asinan sampai kekenyangan. Hingga, Berguling-guling di rerumputan dan melepas canda seperti anak kecil. 

"Yah telat, Ay. Filmnya sudah mulai." 

"Jakartakeun!" 


Ay memutuskan menonton film berjudul "Mengejar Matahari" di Cililitan. Meskipun jauh dari ekspektasi film romantis yang ingin kuhabiskan bersamanya. Namun, aku tak sedikitpun merasa kecewa. Ia terlihat begitu bahagia. 

Hari itu, tawa dan senyuman tak lepas dari wajah cantiknya. Hingga malam menjelang. Sebelum pulang, kami menikmati setiap tusuk sate dengan canda tawa di depan Masjid Lautze di daerah Menteng. 

Malam telah larut. Dan aku tertunduk pasrah di hadapan orangtua Ay. Meski kami sudah menjelaskan aktivitas yang dilewati. Namun, amukan Pak Abu, Ayah Ay. Benar-benar tak dapat dibendung. Dan lambaian Ay dari balik jendela, membuatku tahan menerima beribu omelan yang terlontar. 

Pagi itu, Ayah melemparkan tas yang berisi baju-bajuku. Beliau memintaku segera pergi ke Bandung. Perdebatan tak dapat dihindarkan. Dan Ibu menenangkan dengan pelukan. Akupun beranjak dari hadapan ayah dan sepakat untuk pergi ke Bandung. 

Ay sudah berdiri di teras rumahku. Ia tersenyum, dan sepertinya mendengarkan perdebatan di dalam rumah. Namun, tak sepatah kata ia ucapkan. Kemudian, aku membawanya menyantap bakso di sekitar Lapang Merdeka. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun