HELA nafas Fandi, terdengar menyayat hati. Mengamen seharian, tak sepeserpun koin ia dapat. Habis suara, habis tenaga.Â
Dalam hati berkata, haruskah aku menjadi preman. Persis seperti Doni, karib yang tewas diterjang peluru dua hari lalu.
"Berteriak dan mengancam, dapat uang kemudian."
Fandi melihat ke arah emperan toko, tampak Ucup dan Bono berbaring santai. Seharian kedua bocah itu ia perhatikan, mereka hanya meminta-minta dan bermain di jalanan.Â
Entah, darimana asal anak-anak tersebut. Kadang datang bergerombol, kadang terlihat satu dua orang.
Fandi yang lelah, ingin secepatnya tertidur. Iapun berkata, "hei, pulang kalian. Hari sudah malam, aku mau tidur di sini."
"Kami tunggu Mak Amah, belum datang dia," jawab Bono.
"Rusuh kali, Abang. Nih, di sini masih luas," timpal Ucup.
Fandi meletakan gitar tua dan terduduk di samping kedua bocah, ia bertanya, "memang mau pulang kemana, kalian?"
"Bawah kolong jembatan gantung di ujung sanalah, dekat," jawab Ucup.
Ucup bergeser dari posisi berbaring, ia memberikan tempat pada Fandi. Tak lupa, kardus dibagi dua. Setengah untuk dia dan Bono, setengah lagi untuk Fandi.