Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Trofi Juara Bukan Indikator Utama Jadi Pemain Hebat

16 Oktober 2018   10:40 Diperbarui: 16 Oktober 2018   10:55 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Giuseppe Signori | squawka.com

Ukuran untuk jadi pemain terbaik di dunia biasanya ialah raihan trofi yang diraihnya baik saat membela klub atau pun negaranya. Namun tak sedikit pemain hebat yang sepanjang kariernya tak pernah bisa meraih trofi bergengsi.

Standarisasi soal pemain terbaik, pemain terhebat di dunia tentu masing-masing orang berbeda-beda. Meski sejumlah federasi sejumlah negara punya ukuran mengapa seorang pemain dianggap atau dianugrahi gelar pemain terbaik. Pun dengan FIFA yang memiliki standarisasi soal pemain terbaik di dunia.

Tahun ini misalnya, FIFA menganugrahi pemain Real Madrid dan Timnas Kroasia, Luka Modric sebagai pemain terbaik dunia 2018. Modric mampu mengalahkan nama Cristiano Ronaldo di peringkat kedua, dan Mohamed Salah di peringkat ketiga.

Bagi orang awam, cukup aneh melihat 3 besar pemain terbaik dunia versi FIFA tahun ini, ketiganya gagal membawa negara masing-masing meraih gelar juara Piala Dunia 2018. Lantas mengapa mereka bisa meraih posisi tersebut?

Tentu saja pemilihan pemain terbaik di dunia versi FIFA setelah pecah kongsi dengan Ballon d'Or didasari oleh voting kapten dan pelatih timnas seluruh dunia. Namun FIFA memiliki standar soal berapa persen voting itu berpengaruh, FIFA hanya memberikan 50 persen dari voting itu sebagai ukuran untuk jadi pemain terbaik di dunia. Sedangkan 50 persen lagi akan ditentukan pada tahap berikutnya, yakni pemilihan dari para fan sepak bola dan 200 perwakilan media yang diseleksi dari seluruh dunia.

Lantas apa yang berbeda dengan Ballon d'Or? Mereka masih menggunakan sistem lama yakni berdasarkan penilaian dari seluruh perwakilan jurnalis Eropa yang akan memilih  di antara 30 kandidat.

Meski begitu, banyak spekulasi di luar sana, seperti misalnya bahwa voting FIFA ataupun Ballon d'Or soal pemilihan pemain terbaik dunia acapkali tidak fair seperti yang terjadi pada kasus Gianluigi Buffon pada 2006 misalnya. Meski mampu membawa Italia menjadi kampium Piala Dunia 2006, ia tak masuk dalam posisi tiga besar. Pun dengan sejumlah nama skuat Prancis di Piala Dunia 2018 yang juga tak masuk dalam posisi tiga besar.

Maka tak heran jika kemudian tiap kali muncul pemenang pemain terbaik dunia versi FIFA selalu disertai dengan kontroversi. Di kasus Luka Modric, sejumlah pihak menganggap penghargaan tersebut tak pantas diterima eks pemain Tottenham Hotspur tersebut.

Modric bahkan sampai harus mengeluarkan pernyataan terkait kontroversi tersebut. "Saya tidak ingin masuk dalam perdebatan apakah pantas atau tidak. Saya hanya ingin berterima kasih kepada seluruh orang yang memilih saya dan terus mendukung saya hingga seperti sekarang," kata Modric.

Di level klub, Modric memang terbilang cukup sukses bersama Real Madrid. Ia menjadi pemain kunci di lini tengah El Real dalam beberapa musim terakhir. Perannya yang membuat seorang Ronaldo dengan leluasa mampu merobek gawang lawan dan Real Madrid mampu meraih trofi Liga Champions sebanyak tiga kali beruntun.

Terlepas dari ukuran dan metode yang digunakan oleh FIFA dan Ballon d'Or, bagi suporter sendiri, siapa pemain terbaik versi mereka tentu berbeda-beda. Publik sepakbola di sejumlah negara memiliki standarisasi soal penyebutan pesepakbola terbaik kepada seorang pemain.

Bahkan sejumlah pemain yang sepanjang kariernya tak pernah satu kali pun meraih trofi bergengsi masih dianggap sebagai pemain terbaik hingga ada yang disebut legenda. Ya, sejumlah pemain besar memang ada yang sepanjang kariernya tak pernah sekalipun merasakan gegap gempita perayaan gelar juara.

Steven Bull misalnya, nama ini mungkin terdengar asing sekarang. Namun Bull bukanlah pemain sembaranga di mata publik sepakbola Inggris. Pemain yang mendapat gelar bangsawan dari Kerajaan Inggris ini ialah mantan bomber subur untuk klub Wolverhampton Wanderers.

Torehan prestasi Bull memang bukan untuk klubnya, lebih kepada torehan pribadinya. Ia tercatat memiliki rekor 18 hattrick untuk Wolverhampton Wanderers dan sepanjang kariernya, Bull mengoleksi 271 gol. Sayang gol-gol tersebut tak mampu membawa Bull merasakan kegembiraan jadi juara satu kompetisi.

Selain Bull, ada tiga nama pesepakbola Italia yang tentu saja bukan pemain sembarangan yakni Giuseppe Signori, Antonio Di Natale, serta Luigi Di Biagio. Tak ada yang bisa menampik jika ketiga pemain di atas ialah legenda untuk sepakbola Italia, mereka pemain besar.

Sayang ketiganya pun sepanjang kariernya tak pernah merasakan trofi bergengsi. Signori misalnya, eks pemain Lazio ini pernah menyabet tiga gelar capocannoniere (top skor Serie A Italia) musim 1992--93, 1993--94, dan 1995--96. Dari ketiga musim itu, Signori membela 1 klub Lazio, apakah Lazio mampu ia antarkan meraih scudetto? Tidak.

Torehan 26 gol Signori di musim 1992-93 hanya mampu tempatkan Lazio di peringkat 5, di musim berikutnya jumlah gol Signori menurun menjadi 23 namun peringkat Lazio bertengger di peringkat 4, sedangkan di musim 1995-96, Lazio hanya berada di peringkat ke-3.

Capaian terbaik Signori hanyalah mengantar Bologna juara UEFA Intertoto Cup pada 1998, serta harus merasakan pahit ketika Italia gagal di final Piala Dunia 1994 akibat tendangan penalti Roberto Baggio yang membentur mistar gawang Brasil di babak adu penalti.

Bicara soal pahit di partai final juga dirasakan Di Natale dan Di Biagio. Di Natale yang menyandang status top skor Serie A di dua musim 2009--10, 2010--11 gagal antarkan Italia menjadi juara Euro 2012 setelah di partai final dibantai Spanyol empat gol tanpa balas. Sedangkan Di Biagio merasakan pahitnya gagal di final Euro 2000 saat kalah dari Prancis lewat gol emas David Trezeguet.

Selain keempat nama di atas, masih banyak sejumlah nama besar di lapangan hijau yang juga tak pernah merasakan meraih trofi. Ada nama Stan Collymore, gelandang energik Jerman, Bernd Schneider, legenda untuk Southampton, Matthew Le Tissier, pemain Turki, Yildiray Basturk, serta mantan gelandang Newcastle United, Rob Lee.

Meski para pemain ini tak pernah meraih gelar juara apalagi masuk nominasi pemain terbaik dunia versi FIFA atau Ballon d'Or, prestasi individu dan nama besar mereka tetap dianggap oleh publik sepakbola. Mereka ialah pemain-pemain besar yang bisa dikatakan, the right man in the wrong place.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun