PERTEMPURAN DAN AKSI HEROIK UTAMA
Kyai Ngabei Singadipa dikenal karena kegigihan dan kelicinannya di medan perang, menjadikannya musuh nomor satu tentara Kompeni setelah Pangeran Diponegoro tertangkap. Salah satu aksi heroiknya yang paling menonjol adalah keberhasilannya menghancurkan benteng Margalayu milik Belanda di daerah Karangbolong. Untuk mencapai kemenangan ini, Singadipa mengerahkan kekuatan 600 prajurit, sebuah jumlah yang signifikan dan menunjukkan kapasitasnya dalam memobilisasi dan memimpin pasukan besar. Keberhasilan ini tidak hanya menunjukkan keberaniannya tetapi juga kemampuan strategis dan kepemimpinan militer yang luar biasa dalam menghadapi kekuatan kolonial yang lebih canggih.
Beliau dan pasukannya dikenal sangat sulit dideteksi dan ditangkap oleh pasukan Belanda, sebuah fakta yang merepotkan Kompeni selama bertahun-tahun. Kemampuan ini, yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam strategi uniknya, menunjukkan bahwa perlawanan di Banyumas Raya memiliki akar yang dalam dan kepemimpinan yang mandiri, tidak hanya bergantung pada komando langsung dari Pangeran Diponegoro. Hal ini memperlihatkan adanya jaringan perlawanan yang tangguh dan terdesentralisasi, dengan para pemimpin lokal yang memiliki semangat perlawanan yang gigih.
PERAN SEBAGAI PANGLIMA PERANG DI SEKTOR BARAT JAWA TENGAH
Kyai Ngabei Singadipa memegang peran krusial sebagai "satria terakhir" dalam Perang Jawa. Beliau meneruskan perlawanan bahkan setelah Pangeran Diponegoro ditangkap pada tahun 1830, sebuah bukti nyata dari komitmen dan kemandirian perjuangannya yang luar biasa. Setelah penangkapan Diponegoro, Singadipa masih terus melakukan perlawanan gerilya dengan sisa prajuritnya. Ia secara cerdik berpindah markas dari desa ke desa, dari hutan ke hutan, untuk mengecoh tentara kolonial Belanda.
Perjuangan gerilya ini sangat merepotkan Belanda, yang tak kunjung bisa menjerat panglima perkasa ini. Bahkan, pasukan Belanda kesulitan menguasai wilayah Banyumas secara penuh selama sekitar 10 tahun. Ini menunjukkan dampak mendalam dari strategi perang gerilya yang diterapkan Singadipa terhadap kekuatan kolonial yang secara teknologi lebih unggul. Kemampuan Singadipa untuk memanfaatkan pengetahuan lokal tentang medan dan beradaptasi dengan kondisi, secara efektif menetralkan keunggulan militer konvensional Belanda.
STRATEGI "UMPETAN JRONING KEMBEN": KECERDIKAN SANG PANGLIMA DALAM PERANG GERILYA
PENJELASAN MENDALAM TENTANG STRATEGI UNIK INI
Salah satu aspek paling menarik dan cerdik dari perjuangan Kyai Ngabei Singadipa adalah strategi yang dikenal sebagai "Umpetan Jroning Kemben," yang secara harfiah berarti "bersembunyi di balik pakaian wanita (kemben)". Strategi ini bukan sekadar penyamaran biasa, melainkan sebuah taktik perang gerilya yang mendalam. Kyai Ngabei Singadipa akan menyamar sebagai warga biasa dan secara strategis menikahi wanita lokal di desa-desa tempat ia singgah. Pernikahan ini berfungsi sebagai kedok yang sempurna, memungkinkannya untuk menyusun strategi, mengumpulkan informasi, dan menghindari deteksi oleh pasukan Belanda. Tercatat bahwa beliau memiliki enam istri, dan beberapa sumber bahkan menyebutkan lebih, sebagai bagian dari adaptasi dan dedikasi terhadap strategi ini.
Strategi ini menunjukkan ketergantungan yang mendalam pada integrasi dengan komunitas lokal. Masyarakat bukan hanya pendukung pasif, melainkan partisipan aktif dalam perlawanan, menyediakan tempat perlindungan, informasi, dan perisai manusia terhadap pasukan kolonial. Ini menyoroti sebuah pola penting dalam perang gerilya di mana populasi sipil menjadi elemen tak terpisahkan dari kekuatan tempur. Kisah-kisah seperti perpisahan Secamenggala, putra mantu Singadipa, dengan istrinya yang penuh haru sebelum berangkat ke medan perang , memberikan dimensi kemanusiaan yang mendalam di balik kerasnya perjuangan, menunjukkan ikatan kuat antara pejuang dan keluarga serta masyarakatnya.
EFEKTIVITASNYA DALAM MEREPOTKAN BELANDA