Judul: “Laut Bercerita”: Ketika Luka Sejarah Menjelma Puisi dalam Prosa
Oleh: [Indi Rahmah]
Pengenalan
Laut Bercerita adalah novel karya Leila S. Chudori, seorang jurnalis dan penulis sastra kenamaan Indonesia. Diterbitkan oleh KPG pada tahun 2017, novel ini membawa kita menyusuri gelapnya sejarah penculikan aktivis politik pada masa Orde Baru, khususnya menjelang kejatuhan Soeharto. Novel ini menuturkan kisah Laut Biru, seorang mahasiswa aktivis yang menjadi korban penghilangan paksa. Dengan latar kuat sejarah dan narasi emosional, buku ini menjadi salah satu karya paling berani dalam menghadirkan luka kolektif bangsa yang masih menyisakan pertanyaan hingga hari ini.
Penghayatan
Membaca Laut Bercerita bukan sekadar mengikuti alur kisah seorang tokoh yang hilang—tetapi sebuah proses menyelami perasaan kehilangan, harapan, dan ketidakadilan yang menggumpal. Leila menyusun kisah ini seperti seorang pelukis yang menggoreskan luka dengan kata, membuat pembaca tidak hanya merenung, tetapi juga turut merasakan kehilangan yang sunyi. Bagian paling menyayat adalah ketika keluarga Laut, terutama adiknya Asmara Jati, terus berjuang mencari kejelasan tentang nasib sang kakak. Kesedihan dan ketabahan mereka menyatu dalam narasi yang puitis namun penuh kekuatan.
Pengetahuan
Secara teoritis, karya ini bisa dianalisis menggunakan pendekatan sosiologi sastra, karena berangkat dari realitas sosial dan politik Indonesia yang penuh tekanan. Novel ini juga memenuhi syarat sebagai novel sejarah, meskipun menggunakan gaya naratif yang subjektif dan penuh emosi. Leila memadukan fakta-fakta sejarah dengan fiksi yang hidup, sehingga tidak hanya menyentuh sisi estetika sastra, tetapi juga menjadi dokumen budaya tentang pelanggaran HAM yang masih gelap.
Pemahaman
Struktur novel dibagi menjadi dua bagian besar: narasi Laut dan narasi Asmara Jati. Struktur ini menciptakan keseimbangan antara kisah dari sudut pandang korban langsung dan keluarga yang ditinggalkan. Leila berhasil menghadirkan dialog-dialog batin yang intim, serta memperlihatkan bagaimana ketakutan dan harapan bisa hidup berdampingan dalam benak para aktivis. Bahasanya cenderung lembut namun tegas, menekankan bagaimana kekerasan negara tidak selalu dituturkan dengan teriakan, melainkan dengan bisikan getir yang lama membelas.
Penikmatan