Mohon tunggu...
Indira Abidin
Indira Abidin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kisah Tauhid: Umar dan Sungai Nil

27 Oktober 2018   11:39 Diperbarui: 27 Oktober 2018   12:14 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada saat Amr bin Ash baru saja diangkat menjadi pemimpin Mesir oleh Khalifah Umar bin Khatab, ia kebingungan. Belum seminggu ia sampai di Mesir, Sungai Nil kering kerontang, tak ada aliran sungainya. Padahal waktu itu bukan musim kemarau. Maka Amr bin Ash pun memanggil para pemuka penduduk setempat dan bertanya, ada apa ini?

Ternyata di Mesir, kalau sungai Nil berhenti mengalir, penduduk melempar tumbal. Dan tumbal yang paling efektif, paling cepat mengalirkan kembali aliran sungai ini, adalah tumbal gadis perempuan.

Amr bin Ash bingung. Ini bukan Islam. Tak ada tumbal dalam Islam. Maka dilaporkannya hal ini pada Khalifah Umar. Umar pun mengirim surat dan meminta Amr bin Ash membacakan surat itu pada Sungai Nil. Isinya sebagai berikut:

Hai Sungai Nil, saya Umar Bin Khatab, hamba Allah. Kalau kau mengalirkan air hanya karena tumbal, maka kami tak mau kau mengalir selamanya. Tapi kalau kau mengalir karena Allah Yang Maha Perkasa, maka mengalirlah hanya atas nama Allah itu saja.

Dan kemudian sungai Nil pun mengalir kembali. Ternyata semua adalah permainan syaithan. Sukses syaithan mengelabui penduduk Mesir. Tapi begitu nama Allah disebut, syaithan mana yang tak ketakutan?

Sesungguhnya hanya Allah yang mengatur alam semesta. Hanya Allah tempat meminta, tempat bersandar, tempat mencurahkan segala kebutuhan hidup. Hanya Allah. Simpel dan sederhana, sama sekali tak merepotkan kita. Cukup satu. Tak ada dewa sungai terpisah dari dewa laut dan dewa sawah. Hanya satu, Allah, dan itu cukup untuk seluruh alam semesta. Sayangnya manusia sering merasa tak cukup dengan yang hanya satu, merasa harus melakukan yang lain agar kebutuhannya tercukupi. Padahal Allah lah Maha Mencukupi, Maha Pemberi.

Syaithan bekerja keras sejak awal masa penciptaan untuk mengelabui kita. Maka berhati-hatilah. Dan Allah menguji kita melalui usaha syaithan ini. Maka kita perlu kaji kembali berbagai tradisi nenek moyang. Mana yang bisa kita lanjutkan dan mana yang harus kita sesuaikan dengan tauhid.

Kalau ada kebiasaan potong kambing lalu diberikan ke sawah untuk sajen dewa sawah atau ke laut untuk dewa laut, lanjutkan potong kambingnya, tapi adakan hajatan di rumah. Undang anak-anak yatim, dan makanlah kambing itu bersama-sama. Sampaikan semua keinginan, kebutuhan, hajat dan berbagai cita-cita keluarga, berdoalah bersama hanya padaNya. Tradisi potong kambing tetap berjalan, tapi tauhid bisa dikembalikan.

Dan seringkali tumbal berganti dengan makhluk lain. Ada keinginan, kita bergantung pada suami, pada orang tua, pada dokter, pada boss atau perusahaan. Dan saat mereka tak bisa memenuhi keinginan dan kebutuhan kita, kita merana dan merasa terpuruk luar biasa. 

Kita yang salah. Kenapa minta pada manusia? Semua manusia punya keterbatasan. Minta dulu pada Allah, baru datangi manusia. Kita cari kepanjangan tanganNya yang ditetapkanNya mewujudkan keinginan kita. 

Suami, orang tua, boss nggak bisa memenuhi? Ya sudahlah, doakan semoga suatu hari bisa. Kita yang salah, kenapa berharap pada manusia, jangan sampai kita kesal dan sebal pada mereka. Salah arah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun