“…Apalah artinya semua perjuangan terhadap penindasan dan ketidakadilan, kalau kebiadaban di depan kita sendiri saja tak mampu kita atasi.” (Hlm. 150)
Gusti, kenapa aku selalu Kauhadapkan dengan orang-orang seperti itu? Orang-orang yang begitu berkuasa dengan seragam dan sepatunya. Orang-orang yang menjadi begitu kuat dengan senapannya. Orang-orang yang selalu benar karena bekerja untuk negara. Mereka yang selalu mendapatkan uang dengan mudah tanp sedikit pun mengeluarkan keringat. Dan aku yang tak punya kuasa dan kekuatan, yang selalu saja salah, harus tunduk pada kemauan mereka. Menyerahkan harta yang terkumpul dengan susah payah, dengan segala hujatan orang lain. (Hlm. 182)
Ternyata adat, aturan, keadilan bisa diatur dengan gampang kalau kita punya uang, punya kenalan yang berseragam dan memegang senjata. (Hlm. 198)
Menyelami Entrok: pengalaman membaca penuh emosi
Campur aduk. Marah, sedih, takut, dan gelisah jadi satu. Cara bercerita yang begitu mengena membuat saya larut dalam alur novel ini. Saya bisa merasakan betapa sulitnya hidup sebagai perempuan di masa itu—dibelenggu diskriminasi dan tekanan dari berbagai sisi.
Di awal, saya sempat kebingungan membedakan siapa yang sedang bercerita—apakah Marni atau Rahayu? Namun, setelah terbiasa, saya mulai memahami bahwa novel ini menggunakan sudut pandang pertama dengan pergantian antara dua tokoh utama. Ini justru membuat pengalaman membaca lebih menarik karena kita bisa melihat dunia dari dua perspektif yang berbeda.
Lalu, ada satu adegan dalam cerita yang lumayan mengejutkan saya. Hubungan ganjil antara dua tokoh — tokoh yang satu adalah tokoh yang dihormati dan disegani, dan yang satunya lagi adalah muridnya sendiri Namun, setelah saya pikirkan kembali, adegan ini memperjelas kekuasaan dan penindasan yang dialami tokoh.
Kesimpulan: Entrok, Realitas Pahit yang Masih Relevan
Entrok adalah novel yang dieksekusi dengan sangat baik. Okky Madasari berhasil menyajikan kisah yang kompleks dengan isu sosial yang mendalam. Dengan nafas feminisme yang kuat, novel ini menyentil realitas pahit yang dialami perempuan—terjepit antara moral, adat, dan aturan masyarakat yang mengekang. Novel ini juga menampilkan potret gelap hegemoni dan kesewenang-wenangan yang masih relevan hingga saat ini.
Bagaimana tertarik untuk baca?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI