Mohon tunggu...
Indah Wahyu
Indah Wahyu Mohon Tunggu... -

just another historian wanna be

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Antara Aku, Kamu, Bapakku dan Tuhan

5 Juli 2011   08:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:55 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Tuhan kita sama, tapi kenapa mereka bilang kita beda?"


Saya adalah orang yang berpandangan masalah pilihan beragama dan beribadah adalah urusan yang sangat pribadi antara manusia dengan Tuhannya. Tapi saya juga menyadari bahwa tidak semua orang akan sependapat dengan saya, termasuk mungkin orang-orang yang dekat dengan saya.

Bapak saya adalah seorang muslim yang moderat. Beliau juga mengormati kebebasan kerkeyakinan dan beribadah seperti halnya saya. Hanya saja, agak sulit bagi bapak saya untuk menerima bahwa putrinya akan menikah dengan orang dari aliran tertentu yang menurutnya terlalu jauh berbeda dengan aliran yang dianutnya.

Dua bulan menjelang pernikahan, persiapan juga sudah 80% dilakukan, dan saat itu pulalah saya baru tahu kalau calon suami saya menganut aliran yang menurut bapak saya terlalu jauh berbeda dengan aliran yang dianut keluarga saya. Saya sempat shock, bukan karena saya tidak bisa menerima, hanya saja saya takut bapak saya akan sulit untuk menerima.

Benar saja, beliau sempat marah dan kecewa.  "Kenapa baru bilang sekarang? kenapa tidak dari dulu bilangnya?" begitu tanya bapak saya.

Sebelumnya, saya dan calon suami saya memang tidak pernah membahas aliran apa yang kami anut. Namun, saya juga sudah merasa kalau kami menganut alian yang berbeda karena ada beberapa hal yang berbeda dari cara kami beribadah. Tapi bagi saya, itu bukan masalah. Toh Gusti Alloh pengertian!

Calon suami saya juga tidak pernah mengira bahwa bapak saya akan mempermasalahkan aliran yang dia anut. Menurutnya, itu karena saya pernah bercerita kalau saat ibu saya dulu  menikah dengan bapak saya, ibu juga bukan dari kalangan santri seperti keluarga bapak saya. Calon suami saya langsung positif thinking dengan mengira bapak saya tidak akan mempermasalahkan aliran yang dia anut. Tapi nyatanya tidak.

Ibu saya mencoba meredam ketegangan dengan mengatakan bahwa tak mungkin meminta calon suami saya berganti aliran seperti yang bapak saya harapkan, karena kami pun tentu tidak mau diminta berganti aliran. Ibu pun mengajukan usul untuk membuat perjanjian pra nikah antara saya dan calon suami saya yang pada intinya kami tidak akan memaksa satu sama lain untuk berpindah aliran dan mengatur masalah anak.

Saya pun mengajukan usul dari ibu saya pada calon suami saya. Ia bukannya menolak melakukannya, hanya saya ia berkata, "Memangnya kamu anggap apa pernikahan kita nantinya hingga harus membuat perjanjian segala? memangnya pernikahan sama dengan kontrak rumah?"

Saya pun dilanda kebingungan yang luar biasa, begitu pula calon suami saya. Pada satu sisi, kami tetap ingin bisa menikah, tetap memegang keyakinan dan aliran masing-masing. Di sisi lain, kami juga tidak ingin jadi anak yang durhaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun