Dalam lanskap ekonomi global yang didominasi oleh mata uang dolar AS, banyak negara berkembang terjebak dalam ketergantungan struktural terhadap sistem moneter internasional yang tidak simetris. Argentina, sebagai salah satu ekonomi terbesar di Amerika Latin, adalah contoh nyata dari dinamika ini. Dengan sejarah panjang krisis utang, inflasi, dan fluktuasi nilai tukar, Argentina kerap menjadi laboratorium ekstrem dari kebijakan makroekonomi yang bertabrakan dengan realitas global. Dalam perspektif ekonomi politik internasional, fenomena ini bukan sekadar akibat buruknya kebijakan domestik, melainkan refleksi dari ketimpangan sistemik dalam sistem moneter internasional yang didominasi oleh hegemoni dolar.
Argentina telah mengalami beberapa episode krisis moneter akut sejak dekade 1980-an. Salah satu respons pemerintah terhadap instabilitas kronis adalah penerapan Convertibility Plan pada tahun 1991, yang menyamakan nilai peso Argentina dengan dolar AS dalam rasio 1:1. Kebijakan ini, yang secara de facto menciptakan sistem dolarisasi parsial, bertujuan menurunkan inflasi dan memulihkan kepercayaan publik terhadap mata uang nasional.
Namun, seperti dikemukakan oleh ekonom Paul Krugman, penetapan nilai tukar tetap tanpa kontrol penuh atas pasokan mata uang dan suku bunga membuat negara kehilangan alat kebijakan moneter fleksibel. Argentina pun mengalami apa yang disebut sebagai "ketegangan antara komitmen dan realitas." Sementara nilai tukar tetap menuntut disiplin fiskal dan moneter ekstrem, perekonomian domestik menghadapi gejolak sosial dan tekanan eksternal, terutama dari perubahan suku bunga global dan arus modal keluar.
Dalam teori ekonomi politik internasional, sistem moneter global yang berbasis pada mata uang nasional negara tertentu dalam hal ini dolar AS menghasilkan ketidakseimbangan kekuasaan. Negara-negara seperti Argentina harus menyesuaikan kebijakan domestiknya berdasarkan kebijakan moneter AS, terutama keputusan The Fed. Ketika The Fed menaikkan suku bunga, arus modal meninggalkan pasar negara berkembang, nilai tukar anjlok, dan beban utang luar negeri melonjak.
Ekonom Michael Hudson menyoroti bahwa dominasi dolar bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga alat geopolitik. Negara-negara berkembang tidak memiliki "mata uang keras" untuk membiayai impor atau utang luar negeri, dan karena itu terpaksa bergantung pada dolar. Dalam kasus Argentina, fenomena ini terlihat dari tingginya proporsi utang luar negeri dalam denominasi dolar, yang rentan terhadap depresiasi peso.
Dolarisasi, dalam jangka pendek, mungkin membawa stabilitas nominal. Tapi dalam jangka panjang, ini menciptakan ketergantungan dan membatasi kedaulatan ekonomi. Argentina kehilangan fleksibilitas dalam mengatur suku bunga, mengintervensi nilai tukar, dan menjalankan kebijakan fiskal ekspansif tanpa tekanan eksternal. Seperti dijelaskan Susan Strange dalam kerangka structural power, kekuatan moneter global beroperasi dalam bentuk "power to set the rules" dan dalam sistem ini, negara seperti Argentina hanya bisa bermain dalam aturan yang tidak mereka buat.
Puncak dari ketegangan ini terjadi pada krisis tahun 2001. Pemerintah Argentina gagal membayar utang luar negerinya senilai lebih dari 100 miliar dolar AS---menjadi default terbesar dalam sejarah pada saat itu. Konsekuensi sosial dan ekonomi sangat parah: kemiskinan meningkat, pengangguran meroket, dan terjadi kerusuhan sosial besar-besaran. Sistem dolarisasi parsial runtuh, dan kepercayaan publik terhadap institusi ekonomi hancur.
Sejak itu, Argentina mencoba berbagai model kebijakan ekonomi, dari populisme kirinya pemerintahan Kirchner hingga liberalisasi pasar ala Mauricio Macri. Namun, krisis berulang tetap menjadi pola yang melekat. Hal ini memperkuat argumen bahwa persoalan Argentina bukan hanya soal kebijakan domestik, melainkan cerminan posisi subordinat dalam sistem moneter global.
Sebagian besar intervensi internasional terhadap krisis Argentina datang dari Dana Moneter Internasional (IMF), yang memberikan pinjaman besar dengan syarat pengetatan fiskal dan liberalisasi ekonomi. Namun, kebijakan ini sering dikritik karena memperburuk kondisi sosial dan memperdalam resesi. Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, menyatakan bahwa IMF gagal memahami konteks sosial-politik di Argentina, dan justru memperparah krisis dengan "obsesi terhadap stabilitas makro jangka pendek."
Penyesuaian struktural ala IMF mencerminkan kepentingan negara kreditor, terutama AS dan negara-negara G7. Dalam sistem moneter internasional yang tidak demokratis, negara-negara berkembang tidak memiliki suara sepadan dalam pengambilan keputusan global. Ini menyebabkan ketidakseimbangan kekuasaan yang memperkuat dominasi institusi keuangan global terhadap kebijakan ekonomi nasional.
Menurut saya, krisis Argentina adalah pengingat bahwa sistem moneter internasional tidak netral. Ia menciptakan hierarki antara negara pusat dan pinggiran. Negara seperti Argentina tidak bisa terus-menerus mengandalkan solusi jangka pendek seperti dolarisasi atau pinjaman eksternal. Mereka perlu memperkuat struktur ekonominya secara internal diversifikasi ekspor, penguatan pasar domestik, dan reformasi perpajakan progresif.