Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kelas Menengah yang Serba Tanggung: Kaya Tidak, Miskin Tidak

5 Maret 2024   20:33 Diperbarui: 7 Maret 2024   12:39 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kelas Menengah Yang Serba Tanggung (Sumber: pexels/Collis)

Hai pembaca yang budiman dan Kompasianer keren di manapun berada. Kompasiana sedang mengeluarkan topik yang menggelitik tentang kelas menengah. Katanya kelas menengah susah kaya! Apa iya seperti itu?

Sebenarnya apa definisi kelas menengah?

Marxis membagi kelas sosial masyarakat menjadi dua yaitu kelas proletar (masyarakat bawah) dan kelas borjuis (masyarakat atas). Dalam perkembangannya muncul kelas di antara keduanya yang dikenal sebagai kelas menengah.

Ada tiga indikator untuk menentukan kelas sosial seseorang yaitu penghasilan, pendidikan, dan pekerjaan. Penjelasan mengenai ketiga indikator pada ketiga kelas sosial, akan lebih memudahkan untuk memahami seperti apa kelas menengah itu.

1. Penghasilan


Penghasilan yang tinggi menyebabkan orang leluasa membelanjakan uangnya. Ia bisa membeli berbagai barang mewah yang sebenarnya merupakan kebutuhan tersier. 

Barang-barang fungsional pun ia beli dengan kualitas terbaik yang tentu harganya tinggi, misalnya tas, ponsel dan laptop -- ini adalah barang yang sekarang hampir semua punya. 

Tapi hanya kaum kelas atas saja yang membeli tas seharga ratusan juta atau lebih. Itulah privilese yang dipunyai oleh masyarakat kelas atas. Kelas tajir melintir yang nominal uang dengan nol tak terhingga saking banyaknya.

Adapun masyarakat kelas menengah pada umumnya memiliki penghasilan pas-pasan. Mereka tidak akan punya rumah, mobil, motor dan barang-barang seharga puluhan atau ratusan juta kecuali menabung atau kredit melalui bank.

Kelas bawah tentu lebih kasihan lagi. Mereka memiliki penghasilan di bawah UMR dan seringkali itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari apalagi memenuhi kecukupan gizi, biaya pendidikan dan kesehatan. 

Akibatnya keluarga kelas bawah seringkali tidak dapat menyekolahkan anak ke jenjang tertinggi sehingga kelas mereka akan tetap berada di bawah selama beberapa generasi, kecuali ada gerakan revolusioner yang menyebabkan kondisi ekonomi mereka dapat terangkat.

Effort untuk mengangkat kondisi ekonomi mereka tentu kerja keras dan kecerdasan dalam menangkap peluang. Bukan berharap ada pangeran atau putri kaya raya yang jatuh cinta pada gadis/pria miskin, lalu mengangkat derajat ekonomi si kelas bawah dengan jalan pernikahan, ya! Itu banyak terjadi tapi seringnya hanya di telenovela atau serial romantis.

2. Pendidikan

Pendidikan terkait erat dengan penghasilan. Mereka yang memiliki penghasilan tinggi tidak akan pernah kecil hati dengan biaya pendidikan yang melambung. Sekolah sampai ke luar negeri pun dijabanin karena dipakai untuk itupun, jumlah rekeningnya nggak goyang.

Berbeda dengan kelas menengah. Sekolah di luar negeri hanya bisa terwujud jika mengandalkan beasiswa. Bahkan menyekolahkan anak di perguruan tinggi negeri masih mikir biaya UKTnya, sampai-sampai penghasilan orang tua sedikit dimanipulasi agar dapat UKT yang tak terlalu tinggi. Kuliah di perguruan tinggi swasta, lebih-lebih lagi. 

Orangtua banting tulang kerja keras sampai utang sana-sini, kadang sambil menitipkan SK PNS (bagi yang pegawai negeri) ke bank-bank untuk memperoleh pinjaman uang.

Itu masih mending ketimbang kelas bawah, di mana pendidikan tinggi masih sebatas mimpi. Dapat ditempuh jika anak berprestasi, dengan bantuan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan setempat. 

Itupun kadang dipersulit, seperti pernah diceritakan oleh seorang kawan bahwa ketua RT-nya tidak bersedia menandatangani surat keterangan tidak mampu hanya karena alasan yang tidak prinsipal. 

Bayangkan, jika setingkat ketua RT saja sudah mempersulit jalan seseorang untuk menjadi lebih baik. Sudah susah, semakin dipersulit . Untungnya akhirnya kawan saja menemukan jalan keluar atas masalahnya.

3. Pekerjaan

Pekerjaan jelas menunjukkan kelas sosial seseorang. Sebutkan pekerjaan si kelas atas: pengusaha, artis, atlet sepak bola dan atlet lainnya, dokter, arsitek, pengacara, anggota dewan, pejabat tinggi, youtuber kelas kakap, desainer, dll.

Kelas menengah didominasi pekerjaan PNS dan TNI/Polri dengan jabatan menengah. Beda ya kalau pegawai negeri eselon 1 mungkin sudah bisa dimasukkan kelas atas. Pengusaha kelas menengah bisa juga masuk kelas menengah, demikian juga guru, perawat, bidan, penyiar, dan lain-lain.

Kalau kelas bawah jenis-jenis pekerjaan yang dimiliki sebagian besar adalah pekerjaan di sektor informal. Buruh, tukang ojek, penjual di warung kecil, pengamen, dan lain-lain.

Saya PNS dan saya kelas menengah

Mengapa saya memasukkan diri sendiri ke kelas menengah. Sebab beberapa ciri-ciri memang cocok untuk kelas menengah, seperti misalnya menabung atau bahkan berutang untuk kebutuhan yang besar seperti biaya ibadah haji, beli mobil, dan lain-lain. 

Di sisi lain, saya tidak miskin-miskin amat sehingga perlu menerima bansos. Dua hal itu sudah dapat menjadi clue bahwa saya masuk ke dalam kelas menengah. 

Dengan gaji berdua (suami+istri) yang sebenarnya lumayan, kenyataannya gaji tersebut bisa menjadi saldo nol kala pengeluaran meningkat. Belum lagi kalau ada kejadian tak terduga yang harus membuat isi dompet kembali melayang, seperti misalnya ada yang sakit.

Apalagi saya orang rantau yang masih punya orangtua di kampung halaman. Tiap tahun harus keluar uang buat mudik yang tak sedikit. Selain mudik, biaya kuliah dan sekolah anak juga merupakan sumber pengeluaran yang besar. 

Kelas menengah yang serba tanggung itulah saya, masih sering harus berhitung untuk memastikan seluruh penghasilan cukup buat ini itu. Tidak seperti mereka yang berpenghasilan tinggi yang tiap tahun bisa liburan ke luar negeri, lha saya ke destinasi wisata masih satu provinsi saja harus mikir duit. 

Ujung-ujungnya duitnya buat mudik sajalah. Mau bela-beli ini itu, saya kadang masih harus mikir keras dan harus pintar-pintar membuat prioritas mana yang harus didahulukan di antara berbagai kebutuhan.

Kelas menengah susah kaya? 

Kalau dipikir-pikir betul juga, seperti saya kadang sudah menabung tiba-tiba uang terpakai untuk hal tak terduga, sehingga harus memulai dari nol lagi.

Tapi susah itu bukannya tidak mungkin. Sebenarnya kelas menengah bisa lho menjadi kaya. Ya memang effortnya harus dikencengin. Seperti salah satu kawan yang mengatakan terus terang bahwa gaji pegawai negerinya tidak cukup. Tapi dia pintar sekali berdagang dan menjual ini itu kebutuhan rumah tangga yang laris manis. 

Lambat laun ia melepaskan diri dari jebakan kelas menengah menuju kelas atas, walau mungkin kelas atas yang tajir melintir macam Raffi Ahmad bukanlah tujuan hidupnya. Cukup bisa liburan akhir tahun ke luar negeri, yang bagi saya masih di awang-awang.

Kalau macam saya yang tidak memiliki bakat dagang, mungkin sebenarnya dengan effort keras juga bisa jadi kaya. Misalnya dengan memanfaatkan hobi nulis dan rajin nulis buku, lalu buku-buku saya diterbitkan dan mendapatkan royalti ratusan juta. Aamiin yaa rabbal alamiin. Tapi sekali lagi kalau sebatas keinginan tanpa usaha sungguh-sungguh, kapan kayanya?

Tapi meskipun bukan orang kaya, bukan menjadi golongan kelas atas, menjadi kaum kelas menengah ini wajib disyukuri. Kalau timbul rasa iri pada mereka yang sedikit-sedikit posting foto holiday ke negeri orang, ya tinggal merem lalu melihat ke bawah. 

Masih banyak orang yang ke Jakarta saja belum pernah. Boro-boro Jakarta, mungkin ke kota terdekat juga belum pernah. Kalau kita kaum menengah pengen ini itu yang aneh-aneh dan harganya mahal, kudu langsung ingat bahwa masih banyak saudara kita yang kekurangan.

Hai, kelas menengah yang serba tanggung, kaya tidak miskin tidak. Kita nggak kaya itu sungguh-sungguh nggak apa-apa, yang penting peliharalah hati biar tetap kaya. 

Sisihkan rezeki buat membantu kelas bawah di sekitarmu yang lebih membutuhkan. Karena cuma kelas menengah yang bisa lebih memahami perasaan kekurangan pada kelas bawah, daripada kelas tinggi. 

Bantulah orang di bawahmu, agar doa-doanya dapat melambungkan engkau di posisi yang lebih tinggi lagi. Posisi yang lebih tinggi dan tentu berkah. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun