Mohon tunggu...
Indah Novita Dewi
Indah Novita Dewi Mohon Tunggu... Penulis - Hobi menulis dan membaca.

PNS dan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Silaturahmi Saat Lebaran di Masa Pandemi

14 Mei 2021   15:16 Diperbarui: 14 Mei 2021   15:22 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Silaturahmi online (Sumber: tangkapan videocall/dokpri).

Lebaran Salat Di Mana

Dua kali lebaran sudah kita mengalami pembatasan mobilitas akibat pandemi tak kunjung berhenti. Meskipun sama-sama dibatasi, namun saya menandai ada yang berbeda dengan lebaran tahun kemarin dengan lebaran tahun ini.

Lebaran tahun kemarin, kita benar-benar sangat menjaga diri. Saya yakin lebih banyak keluarga yang memilih salat ied di rumah dari pada di luar rumah. Namun, tahun ini sepertinya orang-orang sudah lebih berani. Tak terkecuali keluarga kami.

Maksudnya lebih berani tentu bukan tanpa perlindungan dan penjagaan diri. Berani keluar justru karena telah memastikan bahwa semua (insyaAllah) akan berjalan terkendali dengan beberapa persenjataan diri, yaitu: masker, tetap menjaga jarak, berusaha menjauhi kerumunan, bawa hand sanitizer.

Lapangan di dekat rumah, yang biasa dipakai anak-anak main bola dan anak SD Bakung berolah-raga, kembali difungsikan menjadi lapangan tempat salat ied seperti tahun-tahun sebelum pandemi. Suami sudah mengatakan sebelumnya bahwa sebaiknya kami salat di lapangan saja. Baiklah, saya sebagai istri manut.


Pagi itu, suami dan nak lanang segera menuju barisan ikhwan, sementara saya membawa dua gadis kami ke deretan belakang. Saya membawa karpet yang cukup untuk kami tempati bertiga, dan memasang karpet tersebut dengan jarak secukupnya dari orang terdekat. Kami duduk menunggu waktu salat. Saya pastikan masker anak-anak rapat. Mereka berdua juga tak banyak bicara. Yang sulung asyik dengan ponselnya, yang bungsu mengaku mengantuk.

Saya perhatikan orang makin banyak datang. Lapangan penuh, masyaAllah. Ini namanya bukan menjauhi kerumunan namun terjebak di dalam kerumunan. Kekhawatiran segera saya enyahkan dengan keyakinan di ruang terbuka akan lebih aman. Sinar matahari juga hangat-hangat terasa menjalari punggung kami, semoga kalau ada virus ia terpanggang sinar matahari.

Salat berjalan lancar diakhiri dengan khatib yang berulang-ulang melarang kami salam-salaman. Salam jauh saja, salam jauh saja ... ucap khatib.

Perjalanan Silaturahmi

Setelah salat, kami pulang dan menjalani rutinitas sungkeman sederhana. Setelah itu anak-anak makan dulu dan kami mulai perjalanan kami. Tujuan pertama adalah ke rumah tante yang sekompleks dengan kami. Tinggal sekompleks namun jarang bertemu. Di rumah tante, kami dipaksa makan lagi sehingga suami, saya, dan si sulung mengambil piring dan makan ketupat+kari ayam. Menu yang sama dengan di rumah, namun bikinan tante lebih mantap. Saya sempat menanyakan bagaimana caranya sehingga karinya bisa demikian mantap. Tante pun dengan senang hati berbagi tips.

Tujuan silaturahmi kedua adalah rumah kakak suami. Sebelumnya kami singgah dulu ke kuburan, menengok pusara anak sulung saya. Makam si sulung ini tak jauh dari rumah, namun kami jarang mengunjungi. Cukup setahun 1 - 2 kali, sebab walaupun kejadian meninggalnya sudah lama sekali, tetap melihat makamnya yang mungil seolah ada yang mengiris-iris hati. Tunggu kami di surga ya, Nak! InsyaAllah.

Di rumah kakak, hidangan sudah tersaji. Anak-anak kakak, alias ponakan sudah tiga orang yang berkeluarga + satu masih lajang. Semua lengkap. Ada juga adik bungsu suami, tukang masak hidangan lebaran yang kami santap siang itu. Ia datang dengan dua putrinya dan dua cucunya. Dari delapan bersaudara suami, hanya tiga orang saja yang berkumpul siang itu. Satu adik berangkat ke Kolaka untuk berlebaran dengan suaminya - jauh sebelum larangan mudik. Satu kakak berlebaran dengan keluarga kecilnya di Bulukumba. Dua kakak lainnya tetap di Bone, daerah asal suami. Dan satu kakak sudah berpulang beberapa bulan lalu.

Bersamaan dengan silaturahmi offline yang saya lakukan dengan keluarga suami, ponsel saya berdering. Panggilan silaturahmi online dari Kota Malang, tempat orangtua saya bermukim. Ada tiga orang kakak saya yang berlebaran di rumah orangtua. Dua orang memang tinggal di Kota Malang walau tidak serumah dengan orangtua saya; satu lagi mudik dari Jakarta (mudiknya sebelum tanggal larangan mudik). Satu kakak yang tinggal di Bogor juga muncul di layar ponsel.

Walau silaturahmi online rasanya berbeda dengan silaturahmi offline, namun tentu saja saya harus menerima keadaan ini. Dan hanya senyum yang bisa saya berikan, cukup sebagai tanda bahwa saya sehat-sehat - insyaAllah kedua orangtua saya tenang melihatnya.

Acara silaturahmi masih lanjut di malam hari. Saya hanya keluar naik motor berdua dengan suami. Anak-anak sudah capek kalau harus ikut keliling lagi. Kami hanya ke rumah om yang masih satu kelurahan dan ke rumah sepupu tak jauh dari rumah om. Mengobrol seperti biasa juga makan-makan tapi minim jabat tangan. Sepupu menjamu dengan hidangan coto Makassar dan bakso buatan sendiri, juga berbagai hidangan lebaran. 

Renungan

Lebaran yang berbeda. Tiga tahun lalu tak pernah terpikirkan bahwa saya tidak mudik saat lebaran. Kehidupan harus terus berjalan di perantauan, sehingga dalam setahun hanya bisa sekali saja mengunjungi orangtua, dan yang sekali itu tentu saja kemudian dirangkaikan dengan saat lebaran dengan pertimbangan ada cuti bersama, anak-anak dan suami juga pas libur, saudara-saudara ngumpul sehingga momen kebersamaan lebih terasa.

Dan mungkin orang-orang yang berpikiran demikian bukan hanya saya saja. Rekan-rekan kantor yang orang Jawa, kebanyakan juga mematok saat mudik bertepatan dengan lebaran. Jadi apa yang harus dilakukan agar kita semua sama-sama senang?

Mungkin bukan kebijakan larangan mudik yang harus dikedepankan, melainkan pergiliran mudik. Setelah kondisinya seperti ini, saya juga was-was kalau semua mudik bersamaan sehingga akan terjadi kerumunan di sana-sini. Setelah kondisinya seperti ini, saya rela nggak pulang saat lebaran, tapi izinkan saya mudik di waktu lain.

Pelaksanaan vaksin saja bisa bergiliran, tentu soal mudik ini juga bisa dibuatkan jadwal. 

Jadi suatu hari mungkin saya bisa mengecek aplikasi mudik.com di sebuah website pemerintah, lalu saling membicarakannya dengan teman sekerja.

"Dek, jadwal mudikmu kapan?"

"Ahamdulillah, saya dapat pas hari lebaran, Mbak. Kalau Mbak Indah kapan?"

"Jadwalku dua minggu lagi, insyaAllah aku sabar menanti, deh."

"Mbak Indah mau tukeran dengan jadwalku? Aku kan sudah nggak punya orangtua, kalau mbak Indah penting pulang saat lebaran."

"Duh, alhamdulillah ... matur nuwun, Dek."

Lalu kami berdua kembali masuk di web mudik.com dan mengajukan permohonan tukar jadwal mudik.

Lalu saya terbangun saat ada yang menggoyang-goyang lengan saya dengan keras.

"Mah, bangun, Mah ... subuhnya sudah mau habis, lho ... cepetan salat sana!"

Ternyata pak suami yang membangunkan dan aplikasi mudik.com hanya sekadar mimpi atau kehaluan tak bertepi. Saya pun mengambil air wudhu sambil bergumam ...  dari pada pergiliran mudik, lebih bagus lagi bila virusnya yang enyah, jadi semua bisa mudik lebaran sama-sama lagi. Aamiin.**

***

Karena masih dalam suasana lebaran, saya ucapkan selamat lebaran, mohon maaf lahir batin, yaaa...sampai jumpa di Samber tahun depan, insyaAllah panjang umur - dan bisa mudik karena corona sudah go away, aamiin...yra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun