Lebaran Salat Di Mana
Dua kali lebaran sudah kita mengalami pembatasan mobilitas akibat pandemi tak kunjung berhenti. Meskipun sama-sama dibatasi, namun saya menandai ada yang berbeda dengan lebaran tahun kemarin dengan lebaran tahun ini.
Lebaran tahun kemarin, kita benar-benar sangat menjaga diri. Saya yakin lebih banyak keluarga yang memilih salat ied di rumah dari pada di luar rumah. Namun, tahun ini sepertinya orang-orang sudah lebih berani. Tak terkecuali keluarga kami.
Maksudnya lebih berani tentu bukan tanpa perlindungan dan penjagaan diri. Berani keluar justru karena telah memastikan bahwa semua (insyaAllah) akan berjalan terkendali dengan beberapa persenjataan diri, yaitu: masker, tetap menjaga jarak, berusaha menjauhi kerumunan, bawa hand sanitizer.
Lapangan di dekat rumah, yang biasa dipakai anak-anak main bola dan anak SD Bakung berolah-raga, kembali difungsikan menjadi lapangan tempat salat ied seperti tahun-tahun sebelum pandemi. Suami sudah mengatakan sebelumnya bahwa sebaiknya kami salat di lapangan saja. Baiklah, saya sebagai istri manut.
Pagi itu, suami dan nak lanang segera menuju barisan ikhwan, sementara saya membawa dua gadis kami ke deretan belakang. Saya membawa karpet yang cukup untuk kami tempati bertiga, dan memasang karpet tersebut dengan jarak secukupnya dari orang terdekat. Kami duduk menunggu waktu salat. Saya pastikan masker anak-anak rapat. Mereka berdua juga tak banyak bicara. Yang sulung asyik dengan ponselnya, yang bungsu mengaku mengantuk.
Saya perhatikan orang makin banyak datang. Lapangan penuh, masyaAllah. Ini namanya bukan menjauhi kerumunan namun terjebak di dalam kerumunan. Kekhawatiran segera saya enyahkan dengan keyakinan di ruang terbuka akan lebih aman. Sinar matahari juga hangat-hangat terasa menjalari punggung kami, semoga kalau ada virus ia terpanggang sinar matahari.
Salat berjalan lancar diakhiri dengan khatib yang berulang-ulang melarang kami salam-salaman. Salam jauh saja, salam jauh saja ... ucap khatib.
Perjalanan Silaturahmi
Setelah salat, kami pulang dan menjalani rutinitas sungkeman sederhana. Setelah itu anak-anak makan dulu dan kami mulai perjalanan kami. Tujuan pertama adalah ke rumah tante yang sekompleks dengan kami. Tinggal sekompleks namun jarang bertemu. Di rumah tante, kami dipaksa makan lagi sehingga suami, saya, dan si sulung mengambil piring dan makan ketupat+kari ayam. Menu yang sama dengan di rumah, namun bikinan tante lebih mantap. Saya sempat menanyakan bagaimana caranya sehingga karinya bisa demikian mantap. Tante pun dengan senang hati berbagi tips.