"Safitri, benarkah itu?" Nyi Roro Kidul menegakkan punggung. Setelah menghirup napas panjang, dia memejamkan mata, menyatukan kedua telapak tangan di depan dada. Sesaat kemudian, auranya menyala. Alam bawah sadar menenggelamkan dia dalam pencarian. Gelap, barisan pohon, dan ....Â
Tetiba, Sekar berteriak sebab merasakan panas luar biasa di leher. Tubuhnya terpental di dinding gua. Safitri terkejut melihatnya, pun Lastri. Mereka lantas bertanya-tanya ada apa gerangan?Â
Konsentrasi Nyi Roro Kidul buyar sebelum mendapat apa yang diinginkan. Hampir ... hampir saja dia merengkuh bayang Kusuma. Akan tetapi, kelancangan dayang menghamburkan semua itu.Â
"Bawa dia pergi," ucap Safitri.Â
Lastri menanggapinya dengan anggukan kepala. Kemudian, kedua sosok itu lenyap dari pandangan.Â
Hela napas kuat terdengar dari wanita berselendang hijau. Dia membuka mata perlahan, lalu meletakkan kedua tangan di sisi raga. Sekilas, dia melirik Safitri. Wanita yang hendak membuka mulut itu, dia hentikan dengan isyarat. Ketika sebelah tangannya sejajar bahu, Narendra datang menghadap.Â
Tubuh kekarnya menebar pesona yang tak terelakkan. Anatomi yang entah bagaimana bisa menampakkan kurva-kurva indah itu. Bahkan selembar kain batik yang membujur dari sebelah pundak, tak mengurangi daya pikat. Pantas jika kaum wanita mengaguminya. Nyi Roro Kidul pun tak enggan mengumbar senyum kepada Narendra.Â
"Selamat atas penobatanmu," ucapnya lalu meraih tongkat di sisi kursi sebelum berdiri.Â
Narendra memulas seutas senyum dan menunduk barang sesaat. "Terima kasih, Nyi."Â
"Tak sia-sia pertapaanmu selama ini. Cukup lama aku mengintaimu. Tak kusangka, sudah cukup banyak ilmu yang kamu miliki."Â
"Ini semua atas kemurahan Nyi Roro."Â