Putra mengangguk, sementara Wandra asyik merekam suasana sekitar dengan handycamp.Â
"Mau cari apa malam-malam begini, hem? Ilmu kebal? Atau ... Akik ?"Â
"Tidak, Pak! Kami hanya ingin ...."Â
"Mau mencari kebenaran mitos?" tukas pria bernama Sajiman. Lelaki itu seakan tahu apa yang ada dalam benak Putra. Anak muda itu terdiam dan menunduk.Â
Wandra yang semula tak henti bergerak, kini mematung, sama terkejutnya dengan Putra. Dia meletakkan handycamp di pangkuan dan mulai mendengarkan.Â
"Banyak anak muda datang hanya untuk mencari pembuktian. Sama seperti kalian. Memasang kamera di sana-sini." Pak Sajiman menghela napas, "saran bapak, urungkan niat itu."Â
Desir angin melintasi tengkuk Putra. Bukan udara yang berembus di sela-sela dahan, lalu turun menyapa. Namun, ini seperti tiupan. Seperti ada seseorang yang meniup tengkuknya.Â
Sepersekian detik, dia membalik badan. Kosong. Sejauh mata memandang, hanya terlihat barisan pohon yang tegak berdiri di kegelapan. Mungkinkah dia salah?Â
Pak Sajiman tersenyum tipis. "Kalau mau datang ke sini, niatkan untuk berwisata. Sudah terlalu banyak manusia yang keblinger. Jadi, jangan ditambah lagi." Pria itu beringsut dari dipan, melangkah perlahan di tanah kering.Â
"Pak!" seru Putra menghentikan gerak kakinya. "Bapak tahu di mana saya harus mengembalikan ini?"Â
Putra mengeluarkan liontin yang rupanya tengah menyala, hijau tosca. Dia tersentak, itu di luar akal sehat. Benda yang terpikir hanya batu biasa, entah kenapa terasa hangat di telapak tangannya.Â