Mata pelajaran matematika merupakan ratu dari segala ilmu, yang berarti matematika adalah dasar dari sebuah ilmu. Maka dari itu peran matematika dalam dunia pendidikan sangatlah penting. Bahkan aktivitas keseharian masyarakatpun, matematika juga berperan penting didalamnya.
Namun dalam data Penilaian Siswa Internasional atau Programme for International Student Assessment (PISA) yang telah diumumkan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2018, terlihat bahwa kemampuan matematika, sains, dan membaca Indonesia berada di peringkat yang rendah.Â
Dimana untuk matematika sendiri, Indonesia berada di peringkat 75 dari 81 negara di dunia dengan skor 379. Skor ini terlihat menurun jika dibandingkan dari tahun 2015 dengan skor 385. Dengan peringkat ini Indonesia tertinggal jauh dari negara ASEAN lain seperti Singapura di peringkat 2 dengan skor 569 dan Malaysia di peringkat 47 dengan skor 440.
Kemudian PISA juga membagi kemampuan siswa dalam beberapa level, mulai dari level 1 (terendah) sampai ke level 6 (tertinggi) untuk matematika, sains, dan membaca. Hasilnya  dalam kemampuan matematika, hanya 29% siswa Indonesia yang mencapai setidaknya level 2, hasil tersebut sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata OECD yakni 76% siswa. Sedangkan sekitar 1% siswa mendapat level 5 atau lebih tinggi dalam matematika.Â
Presentase tersebut 10 kali lebih rendah dari presentase OECD yang memiliki 11% siswa yang berada pada level 5 atau lebih tinggi. Hal ini tentu saja menjadi Warning bagi Indonesia, terkhususnya di dunia pendidikan.
Di Indonesia sendiri, mata pelajaran matematika memang selalu dianggap berbeda. Kenapa berbeda? Karena kebanyakan siswa beranggapan bahwa mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang sukar dan menakutkan. Sehingga banyak siswa yang kurang menyukai pelajaran matematika, bahkan mereka juga menganggap matematika adalah pelajaran yang harus dihindari.
Untuk beberapa siswa, matematika tidak terlalu menyulitkan. Namun rata-rata siswa yang lain saat mendengar matematika saja sudah ketakutan. Bahkan disaat baru memulai kelas, sudah ada siswa yang merasa cemas dan khawatir.Â
Hal ini bisa terjadi karena siswa tersebut takut jika ditunjuk oleh guru dalam menyelesaikan permasalahan ataupun soal matematika. Sehingga dengan perasaan seperti itu siswa tidak bisa fokus dalam kegiatan pembelajaran, yang mengakibatkan ketidakpahaman siswa terhadap materi yang disampaikan oleh guru.
Memang setiap individu tidak ada yang sama. Masing-masing mempunyai perbedaan tingkah laku, salah satunya yaitu tingkah laku belajar siswa. Perbedaan inilah yang mengakibatkan aktivitas belajar tidak selamanya berjalan dengan baik.Â
Pada dasarnya saat siswa pertamakali mendapat pembelajaran matematika, mereka merasa bersemangat. Namun disaat materi naik ke tingkat yang lebih sulit, rata-rata siswa akan mulai tidak bersemangat.
Tingkah laku belajar siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah teknologi. Faktor teknologi sangat berpengaruh dalam aktivitas keseharian siswa. Karena faktanya anak Indonesia seringkali memanfaatkan teknologi dengan kurang bijaksana.Â
Mereka cenderung menikmati hal lain seperti Gaming dan bermain media sosial. Padahal dengan kecanggihan zaman, harusnya kita bisa memanfaatkan teknologi dengan menambahkan pengetahuan kita dalam pendidikan.
Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi belajar siswa adalah minat belajar. Jika minat siswa berkurang, maka ia akan cenderung malas-malasan jika dihadapi soal matematika.Â
Sebaliknya, jika minat siswa bagus, maka siswa tersebut juga akan bersemangat untuk belajar matematika. Disini guru berperan penting untuk mengatasi masalah belajar siswa pada pembelajaran matematika.Â
Guru diharuskan agar berupaya dalam menumbuhkan minat belajar siswa. Upaya yang dilakukan dapat berupa menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menarik sehingga siswa nyaman dalam belajar matematika.
Namun, jika dilihat dari hasil studi PISA 2018, menunjukkan setidaknya ada lima kualitas guru di Indonesia yang dianggap dapat menghambat belajar, yaitu: (1) Guru tidak memahami kebutuhan siswa, (2) Guru sering tidak hadir, (3) Guru menolak adanya perubahan, (4) Guru tidak mempersiapkan pembelajaran dengan baik, dan (5) Guru tidak flesibel dalam proses pembelajaran. Hal ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia.Â
Jika terus seperti ini, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan banyak tenaga kerja yang terampil di masa yang akan datang. Maka dari itu, diharapkan kedepannya agar program pendidikan dapat diperbaiki dan ditingkatkan. Serta anggaran pendidikan yang ada di tingkat pusat maupun daerah dapat dimaksimalkan untuk perubahan kualitas pendidikan Indonesia menjadi lebih baik, sehingga PISA Indonesia juga dapat meningkat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI