Mohon tunggu...
Indah Gayatri
Indah Gayatri Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Rayakan Perbedaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wacana Rektor Asing, Perlukah?

26 Juli 2019   13:00 Diperbarui: 26 Juli 2019   13:38 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber www.ui.ac.id

Hari-hari ini, wacana untuk memperbaiki  kualitas sumber daya manusia Indonesia menjadi prioritas utama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sejumlah rencana pun disiapkan.

Pokok pikiran pemerintah itu sangat baik, namun ada persoalan yang sedikit mengganjal pikiran saya. Terutama soal 'mindset' bagaimana memperbaikinya.

Seperti dilansir dari Katadata, Presiden Jokowi memiliki ide untuk merekrut tenaga kerja asing sebagai rektor perguruan tinggi dalam negeri. Dia menyampaikan ide tersebut saat bertemu dengan 100 seniman dan musisi di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (17/7).[1]

Dari pernyataannya itu, Presiden Jokowi terlihat sangat serius untuk mewujudkan rencananya tersebut. Bahkan menurut seorang sumber dari pemerintahan, setidaknya akan ada lima rektor asing yang akan memimpin lima kampus negeri di Indonesia

Mendengar kabar itu, jujur saja, saya agak kecewa. Karena ada beberapa hal yang menurut saya agak lompat secara logika, sekaligus menunjukan adanya mindset yang kurang tepat dari diri kita.

Kualitas Rendah Perguruan Tinggi Kita 

Kualitas perguruan tinggi Indonesia memang kurang membahagiakan. Menurut QS World University Ranking, terdapat sembilan perguruan tinggi di Indonesia yang masuk dalam 1.000 universitas terbaik dunia. Namun tak ada satu pun universitas yang masuk dalam 100 besar.

Dalam daftar QS World University Ranking, posisi tertinggi ditempati oleh Universitas Indonesia pada peringkat 296, diikuti Universitas Gadjah Mada dan Institut Teknologi Bandung masing-masing di posisi 320 dan 331.

Di Asia Tenggara, perguruan tinggi Indonesia juga masih kalah jauh dari negara-negara ASEAN lainnya. Meskipun Indonesia melalui UI menempati peringkat ke-9 dari 10 universitas terbaik di ASEAN, namun peringkatnya menurut QS World University Ranking masih kalah jauh dibandingkan negara tetangga, seperti National University of Singapore (NUS) Singapura (urutan 11 dunia). NUS ini sekaligus menjadi universitas terbaik pertama di ASEAN.

Sementara peringkat kedua ditempati Nanyang Technological University (NTU) Singapura (urutan 12 dunia). Selanjutnya secara berturut-turut adalah Universiti Malaya (UM), Malaysia (urutan 87 dunia); Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Malaysia (urutan 184 dunia); Universiti Putra Malaysia (UPM), Malaysia (urutan 202 dunia), Universiti Sains Malaysia (USM), Malaysia (urutan 207 dunia); Universiti Teknologi Malaysia, Malaysia (urutan 228 dunia); Chulalongkorn University, Thailand (urutan 271 dunia).[2] 

Berkaca dari penilaian QS World University Ranking tersebut, setidaknya ada enam indikator penting dalam pemeringkatan yang harus diperhatikan, yakni: reputasi akademik, reputasi lulusan, rasio fakultas dan mahasiswa, kutipan jurnal ilmiah, fakultas internasional, dan mahasiswa internasional. 

Rendahnya peringkat perguruan tinggi Indonesia itu disebut-sebut lantaran skor yang rendah di beberapa indikator. Dua indikator terendah adalah jumlah sitasi paper dalam lima tahun yang bersumber dari Scopus dan proporsi mahasiswa internasional. Masing-masing untuk indikator tersebut memiliki skor 2,4 dan 3,0. Skor ini berbanding terbalik dengan rata-rata skor 10 universitas terbaik dunia, yakni 88,3 dan 84,6. 

Rendahnya kuantitas dan kualitas riset menjadi momok utama perguruan tinggi kita. Padahal, kampus diyakini menjadi 'pabrik' bagi inovasi dan penemuan baru yang didasarkan dari riset.

Selama ini, pemeringkatan QS World University Ranking juga digunakan oleh Kemenristekdikti sebagai salah satu tolok ukur universitas di Indonesia menuju universitas kelas dunia. Artinya, jika pemerintah serius ingin mendorong agar perguruan tinggi Indonesia masuk dalam 500 besar dunia, sejumlah indikator tersebut mesti diperhatikan.

Selain persoalan mutu pendidikan tersebut, permasalahan perguruan tinggi kita juga berkaitan dengan penyebaran paham radikalisme.

Berdasarkan temuan riset SETARA Institute tahun 2019, terdapat 10 kampus negeri yang sudah terpapar dengan paham radikal. Corak kegiatan keislaman di kampus yang terpapar radikalisme itu cenderung monolitik, serta dikooptasi oleh golongan Islam tertentu yang tertutup atau eksklusi. [3]

Senada dengan itu, Badan Intelijen Negara (BIN) juga sudah mengendus mengenai penyebaran paham terlarang. Menurut temuan mereka tahun lalu, ada 7 kampus negeri yang terpapar paham radikalisme.[4]

Bahkan, hasil pengembangan pada tahun 2018 tersebut juga mengungkapkan bahwa 39 persen mahasiswa di 15 provinsi menunjukkan ketertarikannya pada paham radikal.

Dua persoalan di atas kelit kelindan sehingga merangsang pemerintah mencari jalan keluar secara bersamaan. Tuntutan untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi seiring dengan melepaskan jeratan paham radikal di dalamnya.

Namun, sayangnya pembacaan atas masalah tersebut agak serampangan.

Logika yang Melompat dan Mental Inlander

Kegusaran Presiden Jokowi atas masalah di perguruan tinggi di atas memang patut dimengerti. Sebagai pemimpin negara, Jokowi merasa kualitas perguruan tinggi kita tak segera beranjak dan masih saja tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Di sisi lain, persaingan global semakin keras dan cepat. Kualitas SDM menjadi salah satu faktor penentu bangsa kita akan maju atau semakin tertinggal. Mau tidak mau, pemerintah harus turun tangan untuk ikut meningkatkan kualitas kampus-kampus kita.

Namun sayangnya, solusi yang diambil pemerintah ternyata bersifat instan. Upaya memasukan rektor asing ke dalam perguruan tinggi negeri bukanlah solusi yang bijak untuk meningkatkan kualitas.

Dalam ilmu manajemen, ada satu prinsip penting yang harus dipegang, yaitu solusi atas suatu masalah haruslah berdasarkan pada masalah itu sendiri. Pun begitu pada persoalan perguruan tinggi kita.

Bila problem mendasar kita terletak pada soal rendahnya kualitas riset dan tata kelola universitas, maka pengambilan keputusan seharusnya berfokus pada itu. Bukan pada siapa yang akan menyelesaikannya. Di sini, persoalan dalam dan luar negeri (harusnya) bukan menjadi fokus utamanya.

Masalahnya, kita kerap menggiring universitas atau perguruan tinggi ini sebagai panggung politik. Siapa yang menjadi rektor atau jabatan pemimpin perguruan tinggi, kerap tergantung pada kedekatan personal dengan pejabat atau pemegang kuasa tertentu. Bukan didasarkan pada aspek profesionalitas dan kemampuan kerja.

Alhasil, rektor universitas atau pimpinan perguruan tinggi lebih bergaya politisi dibandingkan sebagai seorang akademisi. Mental politisi ini sedikit banyak berpengaruh pada manajemen dan fokus utama yang akan dikejar oleh perguruan tinggi tersebut. Alih-alih memperhatikan soal orientasi utama unversitas, tetapi lebih pada tampilan kulitnya.

Preskripsinya, tentu saja, kita harus mencari pemimpin atau rektor perguruan tinggi yang cakap dan profesional di bidangnya, baik untuk mengelola riset (notabene tugas utama universitas) dan juga manajemen pendidikan lainnya. Inilah fokus utamanya.

Mengabaikan persoalan tersebut sembari mencari solusi dengan mendatangkan rektor atau tenaga profesional dari luar negeri bukanlah pertimbangan yang masuk akal. Toh, tak ada jaminan hadirnya rektor atau tenaga profesional dari luar negeri itu akan membereskan masalah utama tadi.

Di samping itu, cara pandang instan seperti di atas juga menunjukan cara berpikir kita yang salah. Dimana letak salahnya? Tak lain pada mental 'inlander'.

Mental Inlander ini ditandai dengan tidak dimilikinya rasa percaya diri sebagai sebuah bangsa, serta memandang bangsa lain jauh lebih hebat dan maju.

Hal itu diikuti dengan tidak mampunya membaca potensi bangsa yang begitu besar, bahkan berpikiran picik dengan menyerahkan sejumlah persoalan bangsa kepada pihak lain. Karena menganggap bangsa ini tidak akan mampu mengatur dirinya sendiri. Inilah penyakit yang sebenarnya.

Rencana mengimpor rektor dan tenaga profesional asing ke perguruan tinggi negeri bisa dipastikan berkaitan dengan mental inlander tersebut. Karena kita seolah yakin bahwa dengan menjadikan "orang asing" sebagai pemimpin universitas, maka seluruh persoalan perguruan tinggi negeri akan selesai.

Padahal, jawabannya, jelas tidak!

Seandainya kita berfokus pada masalah utama perguruan tinggi, maka kita harusnya mencari sosok pemimpin universitas yang benar-benar paham mengenai dunia akademik dan manajemen pendidikan tinggi.

Kita jelas butuh mencari sosok pemimpin perguruan tinggi yang inovatif dan berpikiran maju, bukan sosok politisi.

Untuk perkara tersebut, sepertinya stok kita masih banyak. Kualitas manusia Indonesia juga tak kalah dengan orang-orang asing. Misalnya, di bidang lain, kita bisa melihat sosok yang penuh dedikasi dan mencintai negeri sekaligus bisa bekerja dengan baik, seperti Ignasius Jonan, Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani.

Mereka anak-anak negeri yang berprestasi, bukan orang asing, kan?

Ini bukan soal anti asing-aseng, tetapi lebih pada tujuan kita untuk mencari solusi dari akar masalah.

Oleh karena itu, untuk Presiden Jokowi, kita berharap untuk mempertimbangkan lagi idenya tersebut. Upaya memperbaiki perguruan tinggi memang mendesak, tetapi jangan gegabah dengan mencari jalan pintas.

Catatan Kaki:
[1] Dikutip dari katadata.co.id
[2] Dikutip dari tirto.id
[3] Dikutip dari tirto.id
[4] Dikutip dari kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun