Mohon tunggu...
Indah Gayatri
Indah Gayatri Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Rayakan Perbedaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wacana Rektor Asing, Perlukah?

26 Juli 2019   13:00 Diperbarui: 26 Juli 2019   13:38 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber www.ui.ac.id

Berkaca dari penilaian QS World University Ranking tersebut, setidaknya ada enam indikator penting dalam pemeringkatan yang harus diperhatikan, yakni: reputasi akademik, reputasi lulusan, rasio fakultas dan mahasiswa, kutipan jurnal ilmiah, fakultas internasional, dan mahasiswa internasional. 

Rendahnya peringkat perguruan tinggi Indonesia itu disebut-sebut lantaran skor yang rendah di beberapa indikator. Dua indikator terendah adalah jumlah sitasi paper dalam lima tahun yang bersumber dari Scopus dan proporsi mahasiswa internasional. Masing-masing untuk indikator tersebut memiliki skor 2,4 dan 3,0. Skor ini berbanding terbalik dengan rata-rata skor 10 universitas terbaik dunia, yakni 88,3 dan 84,6. 

Rendahnya kuantitas dan kualitas riset menjadi momok utama perguruan tinggi kita. Padahal, kampus diyakini menjadi 'pabrik' bagi inovasi dan penemuan baru yang didasarkan dari riset.

Selama ini, pemeringkatan QS World University Ranking juga digunakan oleh Kemenristekdikti sebagai salah satu tolok ukur universitas di Indonesia menuju universitas kelas dunia. Artinya, jika pemerintah serius ingin mendorong agar perguruan tinggi Indonesia masuk dalam 500 besar dunia, sejumlah indikator tersebut mesti diperhatikan.

Selain persoalan mutu pendidikan tersebut, permasalahan perguruan tinggi kita juga berkaitan dengan penyebaran paham radikalisme.

Berdasarkan temuan riset SETARA Institute tahun 2019, terdapat 10 kampus negeri yang sudah terpapar dengan paham radikal. Corak kegiatan keislaman di kampus yang terpapar radikalisme itu cenderung monolitik, serta dikooptasi oleh golongan Islam tertentu yang tertutup atau eksklusi. [3]

Senada dengan itu, Badan Intelijen Negara (BIN) juga sudah mengendus mengenai penyebaran paham terlarang. Menurut temuan mereka tahun lalu, ada 7 kampus negeri yang terpapar paham radikalisme.[4]

Bahkan, hasil pengembangan pada tahun 2018 tersebut juga mengungkapkan bahwa 39 persen mahasiswa di 15 provinsi menunjukkan ketertarikannya pada paham radikal.

Dua persoalan di atas kelit kelindan sehingga merangsang pemerintah mencari jalan keluar secara bersamaan. Tuntutan untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi seiring dengan melepaskan jeratan paham radikal di dalamnya.

Namun, sayangnya pembacaan atas masalah tersebut agak serampangan.

Logika yang Melompat dan Mental Inlander

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun