Bagaimana mungkin Indonesia disebut negara maritim yang besar jika lautnya justru menjadi ladang pencurian ikan oleh kapal asing? Pertanyaan ini mencuat setiap kali laporan penangkapan kapal ilegal muncul di Natuna, Arafura, atau Laut Sulawesi. Padahal, laut bukan sekadar ruang geografis, melainkan cermin kedaulatan dan kesejahteraan bangsa. Praktik Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing bukan hanya merugikan ekonomi negara, tetapi juga menantang integritas hukum laut nasional. Seperti diungkapkan Khan (2024), "Illegal fishing threatens the sustainability of future tuna commodities in Indonesia and undermines national sovereignty."
Indonesia sebenarnya memiliki perangkat hukum cukup kuat, mulai dari Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan hingga kebijakan Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 yang membentuk Satgas 115 untuk menindak kapal ilegal. Namun, lemahnya koordinasi antarlembaga dan keterbatasan pengawasan di lapangan membuat penegakan hukum laut belum efektif (Rahmawati et al., 2025). Penelitian tersebut menegaskan bahwa "poor enforcement is highly seen due to shortcomings in limited resources, corruption, fragmented jurisdiction, and less international cooperation." Artinya meskipun perangkat hukum sudah tersedia, penerapannya di lapangan masih lemah karena terbentur masalah sumber daya, tumpang tindih kewenangan, dan minimnya kerja sama lintas negara.
Salah satu tantangan utama terletak pada fragmentasi regulasi dan institusi. Menurut Afriansyah (2024), penegakan hukum laut sering terhambat karena tidak adanya satu komando pengawasan yang tegas antara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), TNI AL, dan Bakamla. Ia menulis bahwa "the overlapping authorities between agencies cause delays and inefficiencies in maritime law enforcement." Hal ini berdampak langsung pada pengawasan wilayah ekonomi eksklusif (ZEE) yang rawan dimasuki kapal asing. Wibowo, Supriatna, dan Hewindati (2023) juga mencatat bahwa di perairan Natuna, aktivitas penangkapan ikan oleh kapal asing meningkat setiap tahun meski patroli rutin dilakukan. "Compliance level among fishing vessels remains low due to weak monitoring and lack of deterrent sanctions" (Wibowo et al., 2023). Fakta ini menunjukkan bahwa hukum tanpa penegakan hanyalah teks di atas kertas.
Selain itu, masalah IUU Fishing juga menyentuh aspek sosial dan ekonomi. Nelayan kecil di wilayah pesisir sering menjadi korban karena kehilangan akses terhadap sumber daya laut. Menurut Putra (2024), "continuous encroachment by foreign vessels in the North Natuna Sea undermines the local economy and depletes fish stocks." Artinya, setiap kapal asing yang mencuri ikan bukan hanya mengambil komoditas ekonomi, tetapi juga perlahan menggerus hak hidup masyarakat pesisir Indonesia.
Meski dihadapkan pada banyak tantangan, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat hukum lautnya agar lebih efektif melawan IUU Fishing. Dasar yuridis terpenting terletak pada United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Dalam konteks ini, Kusuma dan Putra (2024) menulis bahwa "The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 further underlines the responsibility of every coastal state. It mandates that these states exercise sovereign rights over their exclusive economic zones, including the sustainable use and protection of natural resources."Â Kalimat ini menegaskan bahwa menurut UNCLOS 1982, setiap negara pantai, termasuk Indonesia, memikul tanggung jawab penuh dalam mengelola wilayah lautnya bukan sekadar untuk mengambil manfaat ekonomi, tetapi juga untuk menjaga kelestarian dan keamanan sumber daya laut agar tetap berkelanjutan.
Selain itu, peluang penguatan hukum laut juga datang dari kerja sama internasional dan teknologi pengawasan. Bai et al. (2024) dalam studi tentang deteksi kapal ilegal berbasis Synthetic Aperture Radar (SAR) menyebutkan bahwa "advanced monitoring systems using satellite imagery and deep learning can significantly enhance early detection of illegal fishing vessels." Dengan integrasi teknologi ini, Indonesia berpotensi mengurangi keterlambatan patroli dan meningkatkan efisiensi operasi maritim. Hal ini sejalan dengan rekomendasi Ocean Justice Initiative (2024) yang menekankan pentingnya Maritime Operation Center terpadu untuk menghubungkan data Vessel Monitoring System (VMS), AIS, dan laporan komunitas pesisir secara real-time.
Diplomasi pertahanan maritim juga menjadi peluang besar. Ar-Rahman et al. (2024) menegaskan bahwa "maritime defense diplomacy should not merely rely on deterrence but must build cooperative networks with neighboring countries through joint patrol and data sharing mechanisms."Â Pendekatan ini penting untuk menutup celah lintas batas di Laut Natuna Utara yang sering dimanfaatkan kapal asing. Di sisi lain, Irawan (2025) menyoroti perlunya Indonesia memperkuat implementasi hukum internasional ke dalam sistem nasional. la menulis bahwa "despite ratifying multiple international agreements, Indonesia still faces legal fragmentation in applying criminal sanctions against foreign fishing vessels."
Lebih jauh, peran masyarakat pesisir tidak boleh diabaikan. Afriansyah (2024) menyatakan bahwa "community-based surveillance and empowerment programs are vital to prevent local fishers from engaging in illegal practices due to economic pressure." Dengan demikian, pemberantasan IUU Fishing bukan hanya soal patroli dan sanksi, tetapi juga menciptakan keadilan sosial bagi nelayan lokal.
Untuk memperkuat hukum laut dan menumpas IUU Fishing, diperlukan paket kebijakan yang terintegrasi dan berlapis. Pertama, pembentukan Badan Integrasi Pengamanan Laut (BIPL) yang menyatukan kewenangan KKP, Bakamla, TNI AL., dan Polairud dalam satu komando operasional. Rahmawati et al. (2025) menyebut langkah ini penting karena "fragmented jurisdiction and lack of inter-agency cooperation are the main barriers to effective enforcement." Kedua, investasi besar dalam teknologi pengawasan maritim seperti radar, citra satelit, dan kecerdasan buatan (Bai et al., 2024) agar deteksi pelanggaran bisa dilakukan sebelum kerugian membesar. Ketiga, memperkuat Port State Measures untuk menolak hasil tangkapan dari kapal ilegal, sebagaimana dijelaskan oleh Selig et al. (2025): "port inspections and traceability systems are essential to eliminate market incentives for illegal catches."
Selanjutnya, perlu pembaruan kebijakan hukum yang tegas dan adaptif. Marliani (2024) menulis bahwa "the lack of consistent sanctions against violators weakens deterrence and emboldens repeated offenses." Karena itu, hukum nasional perlu mengatur sanksi pidana yang jelas terhadap pelanggaran berat, termasuk penyitaan kapal dan pencabutan izin operasi. Tidak kalah penting, diplomasi laut harus diperkuat melalui joint patrol agreements dengan negara tetangga (Putra, 2024) serta perundingan batas maritim berbasis UNCLOS.
Terakhir, solusi harus menyentuh akar sosial. Menurut Mongabay (2024), "empowering local fishers through sustainable livelihood programs significantly reduces participation in illegal fishing." Dengan memberikan pelatihan, akses modal, dan pasar yang adil, pemerintah bisa mengubah nelayan kecil dari objek menjadi subjek pengawasan laut.