Dari bukit seberang, Elang memperhatikan Murai dalam sangkar di sebuah beranda rumah. Murai yang dibatasi jeruji tengah berkicau, seolah bernyanyi untuk angin yang menyibak bulu-bulunya.
Pagi-pagi Murai bermandi cahaya matahari, tampak membias kilau hitam kebiruan yang memantul hingga puncak bukit, di mana Elang bertengger.
Murai itu tetap bernyanyi, meski batas mengurungnya saban hari. Murai tetap meliukkan tubuhnya, selayak balerina, mementaskan tarian yang indah
***
Seindah-indah bulu-bulu Murai itu. Seanggun-anggun tariannya tak lebih beruntung dariku yang bisa terbang ke mana pun. Elang membusungkan dada.
Aku bisa singgah di puncak-puncak bukit hingga gunung yang kuinginkan, tanpa dibatasi kurungan. Elang melirik tajam pada Kelinci yang hendak dimangsanya.
"Jika memang sangkar itu membuatnya bersedih, mengapa Murai itu bernyanyi?" Tanya Kelinci, yang tersudut di ketiak batu-batu kaki gunung.
"Jika memang terkurung adalah kepedihan, mengapa Murai itu menari? Pernahkah kau bertanya padanya, Elang?"Â Kelinci bersiap mengambil ancang-ancang, kalau-kalau harus segera berlari.
"Jangan-jangan, semua hanya prasangkamu saja."Â Kelinci menaikkan alisnya yang sedikit mengernyit.
***