Tapi kamu bisa membaca buku-buku Puisi terkenal, atau meresapi patah hatimu. Dua hal di antara hal-hal lainnya untuk merangsang pembuluh rasa. Lalu membuat rancangan puisi.
Tiba waktunya, rancangan itu akan selesai juga menjadi puisi.
"Tapi aku sudah membaca banyak buku puisi dan kini tengah patah hati. Namun kenapa Penyair itu belum tiba juga?"
Yang tengah terjadi padamu saat ini adalah kebuntuan. Fase yang harus kamu hadapi. Nikmati saja kebuntuan itu sebagai pertanda juga pengingat, kamu tak mampu menulis tanpa sentuhan. Karena, sekali lagi, Penyair itu begitu rahasia. Kamu hanya perlu menunggu dengan sabar, meski hasratmu sangat kuat untuk menulis.
***
Puisi juga seperti rezeki, tak akan ke mana. Bisa jadi, nanti, ketika kamu sudah melupakannya, sentuhan itu akan sampai kepadamu dan tak hilang sampai kau menuliskannya.
Berbahagialah atas sentuhan itu. Bersyukurlah telah terpilih untuk disentuh. Tapi jangan tinggi hati. Puisi takkan sampai pada Marwah-nya jika dibelanggu keangkuhan. Kamu harus menjaga puisimu dari tangan-tangan para pencopas atau pengedit. Tapi jangan kau lupakan Penyair yang menyentuhmu.
"Lalu, siapa sesungguhnya Penyair itu?"
Tuhan.
Penyair yang berada di dalam Chairil Anwar, Ajip Rosidi, Sapardi dan di dalam dirimu.