Mohon tunggu...
Indah budiarti
Indah budiarti Mohon Tunggu... Guru - https://www.kompasiana.com/indahbudiarti4992

Guru biasa dalam kesederhanaan. Berani mencoba selagi ada kesempatan. Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surat Kabar, Apa Kabarnya Kini?

6 Februari 2024   07:43 Diperbarui: 6 Februari 2024   07:57 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi


Sudah lama saya ingin membeli koran kepada penjual koran yang setiap pagi berjualan di persimpangan jalan atau di beberapa titik yang sering saya lalui saat bekerja. Dengan wajah yang sama, kelelahan atau putus asa seorang penjual koran atau surat kabar itu menyampaikan keluhannya. "Sekarang pembeli koran sepi, makanya saya hanya membawa sedikit saja.."keluhnya.

Surat kabar yang saya beli adalah terbitan lokal. Saya membelinya dengan tujuan memberikan contoh kepada murid-murid dalam membuat tugas belajar kelompok. Mengapa saya harus menunjukkan contoh koran kepada mereka? Karena sebagian besar dari mereka tidak mengenal bentuk koran atau surat kabar. Duh, bagaimana dengan membacanya, apakah mereka mau?

Membaca koran di pagi hari sambil menikmati segelas kopi atau teh adalah kebiasaan sebagian besar orang di waktu dulu. Saat di mana akses internet belum terjangkau, waktu saat semua informasi hanya berasal dari tiga sumber saja yaitu televisi, radio dan surat kabar/koran. Tukang antar koran kerap ditunggu-tunggu kehadirannya oleh para pelanggan, bahkan sampai ada yang menyatakan tidak bisa melanjutkan kerja sebelum membaca dan melahap isi berita di surat kabar.

Jauh berbeda dengan saat ini, di kala banyak orang yang haus akan informasi namun telah disuguhkan oleh portal-portal pemberitaan secara daring. Sangat sederhana dan praktis, dalam waktu singkat kita dapat mengakses semua asal ada jaringan internet. Semakin banyak media pemberitaan secara online jelas memudahkan kita untuk menyerap semua informasi. Si koran sudah mulai dilupakan perlahan-lahan.

Transformasi digital mau tidak mau menggeser media cetak, tentu saja dengan berbagai macam alasan. Tidak hanya koran tapi juga pada tabloid dan majalah. Meskipun ada beberapa yag masih bertahan di tengah derasnya arus digitalisasi.

Bagaimanakah nasib penerbit dan loper koran alias penjual korannya? Memang tidak sebanyak dahulu di mana hampir setiap sudut jalan dan persimpangan, para penjual koran selalu siap melayani pembeli yang tengah melintas di jalan tersebut. Bahkan kita tidak menemukan sang penjual koran lagi di kala hari mulai siang karena jualan mereka sudah habis semua.

Toko buku juga memajang rak khusus koran harian atau media cetak mingguan dan bulanan untuk dijual. Saya ingat betul beberapa tahun yang lalu saya selalu mengunjungi sebuah toko buku hanya untuk membeli tabloid wanita mingguan favorit. Saya membeli koran saat benar-benar membutuhkannya untuk tugas kuliah, atau sekadar ingin mengetahui lebih lanjut berita-berita yang sedang meroket pada masanya. Memang pada masa itu masih banyak pembaca koran atau media cetak lainnya.

Ada yang menguntungkan di saat saya pernah berlangganan tabloid mingguan. Tabloid yang sudah saya baca atau koran, saya kumpulkan lalu bisa saya jual ke tukang loak. Harga setiap kilo koran atau tabloid bekas bisa menambah uang saku. Jika tidak saya salurkan ke tukang loak, saya harus berkenan membagi ke tetangga atau orang lain yang membutuhkan koran/tabloid bekas. Ada yang untuk tugas anak sekolah atau digunakan oleh penjual makanan khususnya gorengan. Sekarang juga masih ditemukan penjual  yang menggunakan koran sebagai pembungkus makanan (gorengan), padahal jelas itu tidak baik untuk kesehatan.

Koran memang semakin ditinggalkan, namun bagaimana cara untuk membangkitkan perhatian serta semangat masyarakat kita dalam membaca koran khususnya orang dewasa. Saya mencoba membuktikan bahwa peminat pembaca koran juga semakin jarang. Di sekolah tempat saya mengajar masih berlangganan beberapa koran terbitan lokal maupun luar, termasuk sebuah majalah. Sayangnya hanya ada satu atau dua orang (dalam hal ini guru/karyawan) sekolah yang rutin membacanya di waktu luang mereka. Selebihnya koran akan akan menghiasi sebuah rak khusus di ruang perpustakaan kami sampai habis masanya.

whatsapp-image-2024-02-06-at-07-38-12-65c18079de948f1a8e30abe3.jpeg
whatsapp-image-2024-02-06-at-07-38-12-65c18079de948f1a8e30abe3.jpeg
Dok. Pribadi

Sebagai pendidik, saya juga mempunyai keprihatinan terhadap peserta didik dan warga sekolah terutama dalam hal membaca. Pendidikan di Indonesia kembali bergiat diri dalam peningkatan di bidang literasi dan numerasi. Ini tentunya akan mendatangkan pola pikir generasi muda yang semakin kritis dan bertanggungjawab. Lalu bagaimana hubungannya dengan koran atau surat kabar?

Sekolah kami memang telah belajar mengenai digitalisasi, namun kami tidak serta merta menanggalkan semua metode pembelajaran yang berbau konvensional. Setiap seminggu sekali, anak-anak mempunyai jam wajib perpustakaan, meskipun hanya satu jam pelajaran namun mampu membuat para peserta didik melek literasi.

Membaca buku di perpustakaan dilanjutkan dengan menceritakan kembali atau menulis ringkasan buku adalah agenda rutin pada jam perpustakaan. Koran atau surat kabar yang tersampir pada rak gantungan koran khusus bahkan hampir tidak dilirik mereka. Kami harus mengarahkannya, bukan untuk membaca semua isinya tapi paling tidak mereka paham apa itu koran dan apa saja yang ada di dalamnya.

Untuk lebih meningkatkan minat baca koran, saya kembali menyuruh mereka untuk membuat tugas kliping dengan menggunakan koran bekas. Untuk tema kliping ditentukan atau disepakati bersama. Dengan membuat kliping dari koran bekas, akhirnya anak-anak membaca koran yang notabene isinya tidak menarik minat mereka tapi paling tidak mereka ingat judul dan ide pokok berita tersebut.

Jika diperlukan, mereka akan membeli koran baru pada tukang koran yang masih setia menebarkan informasi melalui koran yang dijualnya. Selain itu mengajak anak didik untuk menghiasi mading sekolah dengan potongan-potongan berita dari koran adalah cara lain yang dapat dilakukan agar anak melek literasi sejak dini. Jangan sampai anak-anak dan kita sendiri tertinggal dari cara tukang koran dalam hal membaca.

Bahkan tidak jarang ada tukang koran yang menjadi sosok yang serba tahu akibat rutinitasnya membaca koran yang dijualnya. Alih-alih dapat untung, mereka justru mendapat ilmu.

Saya juga pernah mengajak anak-anak murid saya studi lapangan ke sebuah kantor pemberitaan media cetak. Di sana mereka belajar mengenal bagaimana selembar koran diterbitkan. Belajar menjadi penulis, reporter, editor dan lainnya. Dengan demikian, literasi menjadi pembiasaan pada perkembangan karakter seorang anak.

Bagaimana dengan kita orang dewasa, masihkah ada yang meluangkan waktu untuk membeli dan membaca koran? Saya rasa tidak banyak lagi, kecuali bagi yang bermasalah pada penglihatan (mata) yang tidak bisa lama-lama melihat layar gawai. Ada juga yang merasa lebih percaya pada isi pemberitaan di koran dan tidak ribet akibat iklan-iklan yang berseliweran pada media pemberitaan secara online.

Sebagai pendidik, saya berkewajiban untuk menanamkan jiwa berliterasi kepada anak-anak murid, salah satunya adalah dengan cara yang konvensional. Membuat kliping dan mading dari koran. Banyak manfaat yang didapatkan, paling tidak membantu penjual koran yang masih tersisa.

Semoga bermanfaat.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun