Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dari Teras Desa Lombok Tengah: Ketika Genteng Bocor dan Dana Desa Tak Cukup

15 Oktober 2025   09:54 Diperbarui: 15 Oktober 2025   11:51 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan Bimtek Posyandu di Lombok Tengah, 14/10/2025 (Sumber: Dokumen Pribadi)

Suasana Gedung PKK Kabupaten Lombok Tengah siang itu ramai oleh kegiatan Bimbingan Teknis penguatan kapasitas tim pembina posyandu desa. Kegiatan yang diinisiasi oleh DPMD Provinsi NTB ini menghadirkan peserta dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, pengurus PKK, serta para Pendamping Desa Kecamatan.

Pagi itu, di sela kegiatan Bimtek tersebut, beberapa kepala desa duduk santai di teras gedung. Kopi hitam mengepul di antara tawa kecil yang perlahan berubah menjadi obrolan serius tentang kehidupan di desa dan beban yang mereka tanggung setiap harinya.

Suasana yang awalnya ringan berubah menjadi cermin sosial ketika salah satu kepala desa bercerita tentang warganya yang setiap hari datang mengadu. “Kadang kita ini bukan cuma kepala desa, tapi tempat curhat seluruh kampung,” ujarnya sambil tersenyum getir menatap langit yang mulai mendung.

Kepala Desa, Jadi Ladang Curhat

Bagi warga di Lombok Tengah, kepala desa bukan sekadar pemimpin administratif, melainkan sosok ayah dan tempat menggantungkan harapan. Dari urusan rumah tangga, suami yang tak menafkahi, istri yang menolak melayani, hingga genteng bocor setiap hujan—semuanya mampir di meja sang kepala desa.

Setiap keluhan membawa beban moral tersendiri. Kepala desa harus mendengar dengan sabar, meski tahu sebagian besar persoalan itu di luar kewenangan pemerintah desa. Namun, menolak berarti berisiko kehilangan kepercayaan warga yang melihatnya sebagai tumpuan terakhir.

Fenomena ini memperlihatkan kuatnya kepercayaan sosial di pedesaan Lombok Tengah. Kepala desa bukan sekadar pejabat, tetapi jembatan harapan yang menautkan hati masyarakat dengan sistem pemerintahan yang sering terasa jauh dan sulit dijangkau oleh warga biasa.

Seorang kepala desa di Kecamatan Praya Barat menceritakan, “Kadang saya habiskan waktu hanya untuk mendengarkan warga yang bertengkar. Tapi kalau tidak saya dengar, mereka kecewa. Jadi saya lebih baik lelah daripada kehilangan kepercayaan mereka.”

Empati sering kali melampaui batas anggaran. Ada kepala desa yang membelikan atap rumah warga, menalangi biaya berobat, hingga memberi bantuan sembako dari kantong pribadi. Mereka melakukannya bukan karena perintah, tetapi karena rasa kemanusiaan yang tumbuh dari kebersamaan.

Jalan Retak, Fasilitas Usang, dan Dana Desa yang Terikat

Keluhan tentang jalan rusak, jembatan yang nyaris ambruk, hingga balai dusun yang tak kunjung diperbaiki menjadi lagu lama di banyak desa Lombok Tengah. Kepala desa sering kali menjadi sasaran pertama kemarahan warga, meski akar masalahnya adalah keterbatasan dana.

Sejak adanya pembagian dana desa ke dalam dua kategori besar—earmark (sudah ditentukan) dan non-earmark—ruang fiskal desa semakin sempit. Sekitar tujuh puluh enam persen dana sudah ditentukan penggunaannya oleh pemerintah pusat, sementara sisanya mengikuti hasil musyawarah desa.

Dalam situasi seperti itu, kepala desa berjalan di atas tali tipis antara kebijakan pusat dan aspirasi warga. Ketika dana tahap dua belum cair karena sistem, mereka harus menenangkan warga yang tak paham rumitnya prosedur pencairan keuangan dari pusat ke daerah.

Warga tidak salah,” ujar seorang kepala desa di Kecamatan Jonggat. “Mereka hanya ingin jalan mulus dan posyandu layak. Tapi kami juga terikat aturan. Kadang pencairan tertunda karena sistem, tapi warga tahunya kami yang lamban.”

Kepala desa menjadi frontliner yang menanggung akibat kebijakan fiskal nasional yang serba ketat. Dalam sistem yang katanya desentralistik, desa tetap berada di barisan paling depan, namun sering tanpa cukup peluru untuk menjawab semua kebutuhan masyarakatnya.

Ironinya, ketika anggaran tak mencukupi, kepala desa justru dituntut bekerja lebih kreatif. Mereka harus mampu menenangkan warga, mencari solusi sementara, bahkan mengubah tekanan sosial menjadi ruang gotong royong baru di tengah keterbatasan sumber daya.

Mencari Jalan Kreatif Pengelolaan

Setiap kali Musyawarah Desa digelar di Lombok Tengah, daftar usulan warga selalu panjang: jalan lingkungan, sumur bor, beasiswa, pelatihan wirausaha, hingga festival budaya. Semua bagus, tetapi kepala desa tahu, tidak semua bisa diwujudkan dalam satu tahun anggaran.

Kadang mereka merasa seperti pemotong mimpi warganya sendiri. Menolak satu usulan berarti menunda harapan. Namun batas fiskal membuat kepala desa harus bijak memilih mana yang urgen dan mana yang bisa menunggu, sambil menanggung cibiran dari sebagian masyarakat.

Dari keterbatasan itu, muncul kreativitas. Beberapa desa di Lombok Tengah kini mulai mencari sumber pembiayaan lain: menggandeng pihak swasta untuk CSR, memperkuat BUMDes, dan membangkitkan kembali semangat gotong royong warga melalui kegiatan sosial yang partisipatif.

“Kalau hanya mengandalkan dana desa, kita tidak akan maju,” kata seorang kepala desa di Kecamatan Praya. “Makanya kami dorong BUMDes jual hasil pertanian secara online. Lumayan, hasilnya bisa bantu kegiatan desa dan warga.”

Kunci lainnya adalah komunikasi terbuka. Kepala desa yang jujur menjelaskan keterbatasan anggaran biasanya lebih dihormati. Mereka tak menyembunyikan kesulitan, tapi menjadikannya bahan refleksi bersama agar warga memahami proses pembangunan sebagai tanggung jawab kolektif.

Realitas memang keras, tetapi semangat membangun di Lombok Tengah tidak padam. Dari kantor desa yang sederhana, kepala desa terus menambal harapan warganya satu per satu—dengan kesabaran, keberanian, dan keyakinan bahwa perubahan besar lahir dari hal kecil.

Belajar dari Kepemimpinan yang Sunyi

Obrolan di teras gedung PKK Lombok Tengah itu berakhir dengan tawa kecil sebelum para kepala desa kembali ke ruang pelatihan. Namun di balik tawa itu tersimpan renungan panjang tentang arti kepemimpinan di tingkat akar rumput yang jarang disorot publik.

Mereka tahu, menjadi kepala desa bukan sekadar mengurus administrasi, tetapi menjaga rasa, mendengar keluh kesah, dan menenangkan hati masyarakat yang sedang gelisah. Mereka berdiri di antara harapan warga dan kerasnya sistem birokrasi yang kaku.

Teras itu menjadi saksi betapa kepemimpinan di desa adalah kepemimpinan yang sunyi. Tidak bising oleh sorotan media, tetapi hidup oleh keikhlasan. Dari situlah desa bertahan—bukan karena besarnya dana, tetapi karena besarnya hati mereka yang memimpin dengan nurani.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun