Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Gelaran MotoGP: Kontras yang Menarik Mata dan Hati

5 Oktober 2025   09:19 Diperbarui: 6 Oktober 2025   22:10 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pebalap memacu sepeda motor mereka saat memulai sesi Sprint Race MotoGP Indonesia 2025 di Sirkuit Internasional Pertamina Mandalika, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (4/10/2025). (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA via KOMPAS.com)

“Mandalika bukan sekadar lintasan balap, tapi panggung yang mempertemukan gemuruh mesin dan kesunyian laut Lombok.”

Gemuruh mesin dari lintasan Mandalika kembali menggema di langit selatan Lombok. Di layar kaca, dunia menyaksikan deru para pebalap menaklukkan tikungan berkecepatan tinggi. Sorotan kamera menampilkan kegagahan sirkuit bertaraf dunia, berbingkai birunya laut dan hijaunya perbukitan yang seolah memeluk arena kecepatan itu.

Namun hanya beberapa kilometer dari sirkuit, kehidupan desa berjalan dalam ritme yang berbeda. Petani menggiring sapi ke sawah, nelayan menebar jala di laut, dan anak-anak berlarian di jalan berdebu. Ketenangan ini seakan tak terusik oleh gegap gempita global yang datang setiap tahun.

Antara sirkuit dan desa, terbentang pertanyaan sunyi: seberapa dekat kemegahan global dengan kehidupan lokal?

Kamera yang sama menangkap pemandangan kontras — seorang nelayan menebar jala di laut dengan tenang, sementara di kejauhan suara mesin MotoGP bergema seperti lagu asing. Momen itu menggugah bukan hanya mata, tapi juga hati, menghadirkan pertanyaan sunyi: seberapa dekat sebenarnya Mandalika dengan masyarakat yang mengelilinginya?

Harmoni di Tengah Gemuruh

Bagi warga di sekitar sirkuit, gelaran MotoGP sudah menjadi bagian dari kalender tahunan yang mereka sambut dengan rasa campur aduk. Ada kebanggaan ketika nama kampung mereka disebut dalam siaran internasional, tetapi juga rasa asing, seolah tontonan besar itu hanya lewat di halaman rumah tanpa mengetuk pintu.

Ketika penonton bersorak di tribun, warga desa tetap menunaikan rutinitasnya. Nelayan berangkat sebelum fajar, membawa perahu menembus ombak. Petani menyiangi padi dengan kepala tertunduk di bawah panas matahari. Pedagang kecil membuka lapak seadanya di pinggir jalan, berharap sedikit rezeki dari lalu-lalang kendaraan wisatawan. Gemuruh mesin di kejauhan hanyalah gema, bukan getaran dalam hidup mereka.

Harmoni bukan berarti kemakmuran — kadang hanya cara tenang masyarakat bertahan di tengah perubahan yang tak menyentuh mereka.

Dalam suasana seperti itu, harmoni antara dunia modern dan tradisi lokal justru terasa kuat. Tak ada konflik, tak ada keresahan. Masyarakat menerima semua dengan tenang, sebagaimana mereka menerima pasang surut laut. Mereka tahu Mandalika telah membawa nama Lombok ke panggung dunia, tapi di hati mereka, yang paling nyata tetaplah ladang, laut, dan keluarga.

Namun harmoni ini juga menyimpan renungan. Empat kali MotoGP digelar di Mandalika, tetapi wajah ekonomi desa di sekitarnya tak banyak berubah. Warung-warung kecil masih sama, jalan kampung tetap becek saat hujan, dan kehidupan masyarakat berjalan di jalur lama — tenang, tapi nyaris tak tersentuh perubahan.

Empat kali MotoGP berlalu, namun denyut ekonomi desa tetap berputar di tempat yang sama.

Nelayan terpantau kamera MotoGP, asyik menjaring ikan tak terpengaruh gemuruh deru MotoGP (Sumber: facebook.com/lombok kita)
Nelayan terpantau kamera MotoGP, asyik menjaring ikan tak terpengaruh gemuruh deru MotoGP (Sumber: facebook.com/lombok kita)

Desa yang Tetap di Titik Nol

Dalam berbagai pertemuan desa, isu Mandalika sering muncul sekilas — terutama ketika narasumber luar datang berbicara tentang peluang desa di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Tapi reaksi warga sering kali datar. Beberapa hanya saling pandang, sebagian lain tersenyum sopan tanpa paham sepenuhnya. Bagi mereka, KEK dan MotoGP terasa seperti cerita jauh, bukan bagian dari hidup sehari-hari.

Bagi banyak warga, Mandalika bukan peluang — melainkan cerita jauh yang tak pernah benar-benar sampai ke rumah mereka.

Bahkan dalam musyawarah desa, ketika perencanaan pembangunan dibahas, nama “Mandalika” jarang disebut sebagai sumber peluang. Tidak ada program wisata berbasis desa yang terintegrasi dengan ajang internasional itu. Tidak ada pelatihan khusus untuk memanfaatkan potensi pasar wisatawan. Desa-desa di sekitar sirkuit tetap fokus pada persoalan dasar: air bersih, akses jalan, dan kebutuhan pangan.

Ironisnya, di tengah gemerlap sirkuit dan ribuan kamera dunia, angka stunting di beberapa desa sekitar Mandalika masih tinggi. Tantangan gizi dan pendidikan anak belum tuntas. Di saat dunia membicarakan catatan waktu dan posisi finis, sebagian keluarga di selatan Lombok masih memikirkan cara menambah penghasilan agar dapur tetap mengepul.

Ketika dunia bersorak untuk juara dunia, sebagian keluarga di Lombok selatan masih berjuang agar anaknya cukup makan.

Kehidupan desa tetap di titik nol pembangunan yang sesungguhnya. Gelaran internasional itu belum memberi denyut baru pada ekonomi warga. Antara sirkuit dan sawah, terbentang jarak sosial yang tak kasat mata — jarak yang bukan soal kilometer, melainkan soal kesempatan yang tak pernah benar-benar datang.

Antara Kecepatan dan Ketertinggalan

MotoGP Mandalika adalah simbol kemajuan, tetapi juga cermin ketimpangan. Di lintasan, para pebalap berlomba menaklukkan waktu dalam hitungan detik. Di luar lintasan, masyarakat desa masih menunggu perubahan yang datang seolah dalam hitungan tahun — atau bahkan belum juga tiba.

Empat kali ajang MotoGP digelar, namun belum lahir satu pun pembalap lokal dari NTB yang tampil di sirkuit kebanggaan mereka sendiri. Di desa-desa sekitar, anak muda masih bercita-cita menjadi buruh bangunan atau pelayan toko ritel, bukan atlet motorsport. Kecepatan lintasan tidak menular menjadi inspirasi; ia hanya melintas seperti angin, dingin dan cepat hilang.

Kecepatan di lintasan tak otomatis menjadi inspirasi di desa — karena perubahan butuh akses, bukan sekadar tontonan.

Pendamping desa, yang berperan strategis memperkuat ekonomi lokal, juga belum banyak terlibat dalam ekosistem pembangunan di kawasan Mandalika. Padahal, merekalah yang paling dekat dengan masyarakat dan memahami kebutuhan riil di lapangan. Dengan dukungan yang tepat, mereka bisa membantu desa menyusun rencana yang menautkan pariwisata dengan kesejahteraan warga — sesuatu yang hingga kini masih sebatas wacana.

Pembangunan sejati butuh jembatan — antara kebijakan besar dan suara kecil di desa.

Bagi masyarakat lokal, kehidupan mereka tetap bergerak pelan, kontras dengan kecepatan dunia di lintasan. Mereka tidak menolak perubahan, tetapi juga tidak tahu bagaimana cara mengejarnya. Seperti nelayan yang menunggu angin, mereka hanya berharap arus besar pembangunan suatu hari akan membawa ombak yang lebih adil ke pantai mereka.

Akhirnya, gelaran MotoGP Mandalika bukan hanya pesta kecepatan, melainkan juga panggung kontras yang menyentuh mata dan hati. Di satu sisi, dunia melihat Indonesia yang modern, berkelas, dan memukau. Di sisi lain, ada kehidupan sederhana yang bertahan di sekelilingnya — tenang, penuh kerja keras, dan kadang terlupakan.

Dari atas tribun, Mandalika tampak megah. Tapi di bawahnya, di jalan-jalan desa yang berdebu, masih ada wajah-wajah yang menatap dengan heran setiap kali nama kampung mereka disebut di layar kaca. Mereka bangga, tapi juga bingung: bagaimana mungkin dunia begitu dekat, namun hidup mereka tetap terasa jauh?

MotoGP Mandalika semestinya tak hanya menggerakkan mesin, tapi juga menggerakkan hati — agar dunia yang datang, juga membawa perubahan yang tinggal.

Empat kali MotoGP berlalu, namun denyut perubahan bagi warga sekitar masih samar. Mungkin sudah saatnya ajang sekelas ini tak hanya menarik mata dunia, tapi juga menggerakkan hati kebijakan. Sebab kemajuan sejati bukanlah deru mesin di lintasan, melainkan langkah kecil yang mengubah hidup orang-orang di tepiannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun