Namun, sejak seruputan pertama, saya langsung jatuh cinta. Rasanya legit, pahit kental, dengan aroma harum yang tahan lama. Teksturnya pekat, dan ampasnya tidak mudah turun ke dasar cangkir.
Kopi Liong Bulan sendiri berdiri sejak 1945 di Bogor oleh Linardi Jap. Dengan logo naga dan bulan sabit khasnya, kopi ini dulu diproduksi di Jalan Pabrik Gas dan menemani banyak peristiwa bersejarah.
Konon, kopi ini menjadi teman para pejuang sebelum berangkat perang. Bagi saya, puncak kenikmatan kopi Liong Bulan adalah saat masih panas. Setiap seruputan menghadirkan sensasi istimewa yang sulit dijelaskan.
Dari Liong Bulan ke Kopi Gadjah
Seiring waktu, Liong Bulan sulit didapatkan di Lombok. Pernah saya pesan secara online, tetapi ongkos kirimnya justru lebih mahal dari harga kopi. Akhirnya saya berhenti memesannya.
Saya sempat kembali ke kopi 555, namun ada yang terasa kurang. Hingga suatu saat saya mencoba kopi merek Gadjah. Tidak langsung jatuh cinta, tapi ada rasa yang membuat hati lebih terobati.
Kopi Gadjah tidak seistimewa Liong Bulan, namun mampu mengurangi rindu saya pada cita rasa itu. Setidaknya lebih mendekati dibanding merek lain yang pernah saya coba.
Sekarang, setiap pagi, saya memulai hari dengan secangkir kopi Gadjah. Teman setianya segelas air putih sekitar 400 ml.
Pada akhirnya, kopi bukan sekadar soal rasa pahit atau wangi harum yang memikat. Ia adalah cerita tentang masa kecil, tradisi keluarga, hingga pencarian sederhana yang ternyata penuh makna. Setiap seruputannya selalu membawa saya pulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI