Pahit kopi pertama saya bukan dari kafe modern, melainkan dari sisa cangkir Bapak yang saya seruput diam-diam waktu SD. Rasanya getir, namun justru meninggalkan jejak hangat di ingatan kecil yang tak pernah saya lupakan.
Sejak saat itu, kopi pelan-pelan tumbuh menjadi bagian hidup. Ia bukan sekadar minuman, melainkan teman kenangan, tradisi keluarga, sekaligus perjalanan rasa yang terus menemani hingga kini, dari ruang sederhana hingga perjalanan panjang ke berbagai tempat.
Kopi, Tradisi, dan Kenangan Masa Kecil
Saya sudah merasakan hampir semua jenis kopi sachet. Mulai dari yang menurut saya mahal—biasanya dibeli online—hingga yang murah meriah di warung kaki lima. Kopi seakan melekat dalam keseharian saya sejak lama.
Saya sering menyeruput sisa kopi Bapak di meja. Jika ketahuan, Ibu selalu menegur, "nanti ketagihan dan pusing," katanya. Namun dari situlah pahit kopi mulai akrab di lidah.
Di keluarga besar, kopi selalu menjadi menu wajib setelah makan. Bahkan di setiap acara, kopi tidak pernah absen. Rasanya ada yang kurang bila meja berkumpul tanpa hadirnya secangkir kopi hitam.
Di Lombok, suguhan kopi adalah tradisi. Setiap tamu biasanya akan disajikan secangkir kopi, dan harus habis diminum. Ada anggapan, tamu tak bisa pamit sebelum cangkirnya benar-benar kosong.
Beberapa teman dari luar daerah sering bercanda. Katanya, kalau mau bertamu di Lombok, sebaiknya sedia obat anti maag. Sebab setiap rumah pasti menyuguhkan kopi, dan setiap cangkir harus dihabiskan tanpa tersisa.
Perjalanan dengan Kopi Sachet
Dari berbagai merek kopi sachet, ada beberapa yang cukup lama menemani hari-hari saya. Kapal Api, Indocafe, Luwak White Coffee, Good Day, ABC, Torabika, Nescafe, hingga Top Coffee. Semua pernah saya nikmati.
Saya bahkan cukup lama mengandalkan kopi lokal 555. Meski tidak tersedia dalam sachet, ukuran terkecilnya hanya 50 gram. Karena konsumsi sudah dibatasi, istri sampai repot membuatkan “sachet” sendiri untuk takaran harian.
Jatuh Cinta pada Kopi Liong Bulan
Beberapa tahun lalu, saya melakukan perjalanan ke Jawa bersama beberapa pimpinan pesantren. Di sana, saya pertama kali berjumpa dengan Kopi Liong Bulan. Awalnya hanya terpaksa minum, sebab tidak ada pilihan lain.
Namun, sejak seruputan pertama, saya langsung jatuh cinta. Rasanya legit, pahit kental, dengan aroma harum yang tahan lama. Teksturnya pekat, dan ampasnya tidak mudah turun ke dasar cangkir.
Kopi Liong Bulan sendiri berdiri sejak 1945 di Bogor oleh Linardi Jap. Dengan logo naga dan bulan sabit khasnya, kopi ini dulu diproduksi di Jalan Pabrik Gas dan menemani banyak peristiwa bersejarah.
Konon, kopi ini menjadi teman para pejuang sebelum berangkat perang. Bagi saya, puncak kenikmatan kopi Liong Bulan adalah saat masih panas. Setiap seruputan menghadirkan sensasi istimewa yang sulit dijelaskan.
Dari Liong Bulan ke Kopi Gadjah
Seiring waktu, Liong Bulan sulit didapatkan di Lombok. Pernah saya pesan secara online, tetapi ongkos kirimnya justru lebih mahal dari harga kopi. Akhirnya saya berhenti memesannya.
Saya sempat kembali ke kopi 555, namun ada yang terasa kurang. Hingga suatu saat saya mencoba kopi merek Gadjah. Tidak langsung jatuh cinta, tapi ada rasa yang membuat hati lebih terobati.
Kopi Gadjah tidak seistimewa Liong Bulan, namun mampu mengurangi rindu saya pada cita rasa itu. Setidaknya lebih mendekati dibanding merek lain yang pernah saya coba.
Sekarang, setiap pagi, saya memulai hari dengan secangkir kopi Gadjah. Teman setianya segelas air putih sekitar 400 ml.
Pada akhirnya, kopi bukan sekadar soal rasa pahit atau wangi harum yang memikat. Ia adalah cerita tentang masa kecil, tradisi keluarga, hingga pencarian sederhana yang ternyata penuh makna. Setiap seruputannya selalu membawa saya pulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI