Isu mengenai pendamping desa kembali ramai diperbincangkan di ruang publik. Melalui media sosial maupun pesan pribadi, tidak sedikit rekan yang menandai dan menanyakan soal kasus pajak Rp 2,9 miliar serta hoaks rekrutmen. Banyak pula yang berharap penjelasan agar tidak keliru memahami.
Dengan segala keterbatasan, jawaban yang bisa diberikan hanya sebatas pengetahuan yang ada. Namun derasnya pertanyaan yang terus muncul menunjukkan satu hal: profesi pendamping desa kini tengah berada di titik silang antara harapan dan keraguan publik yang menuntut respons lebih jernih dan terbuka.
Bayang-Bayang Skandal & Konsultan
Kasus di Cirebon terkait pajak desa menunjuk pada kenyataan pahit: tenaga pendamping desa yang seharusnya memperkuat justru ikut menyeret desa ke dalam persoalan. Nilai Rp 2,9 miliar bukan angka kecil — ia menjadi simbol kerawanan pengelolaan administratif.
Tak berhenti di situ, muncul praktik “pemaksaan halus” terhadap desa untuk menggunakan konsultan proyek yang dikendalikan pihak luar. Desa yang butuh dukungan teknis diposisikan dalam situasi sulit: tunduk atau dianggap tak profesional.
Konsultan eksternal dikemas sebagai “profesionalisme,” tetapi praktiknya bisa memakan dana desa di balik jargon administratif. Desa menjadi objek proyek, bukan subjek pembangunan. Pendamping yang tidak berhati-hati malah bisa terjebak dalam legitimasi praktek tersebut.
Kontras dengan ideal fungsi pendamping: menjembatani, mendorong partisipasi, mengawal transparansi. Jika konsultan atau oknum pendamping berpaling dari tugas itu, marwah profesi bisa terkikis dan rakyat desa menjadi pihak yang paling dirugikan.
Hoaks Rekrutmen: Bayang Politisasi yang Menyelinap
Tak lama setelah isu skandal muncul, hoaks soal rekrutmen pendamping desa menyebar. Surat kuota mencantumkan logo partai tertentu. Hal ini memicu keresahan, terutama di desa-desa yang menunggu keadilan prosedural.
Padahal, Permendesa 3/2025 sudah menetapkan bahwa pedoman pendampingan masyarakat desa harus dilaksanakan secara terpadu, sinergi, dan terkoordinasi (Pasal 2 ayat (2)). Surat kuota partai—jika benar, jelas bertentangan dengan semangat regulasi baru.
Menurut Pasal 3, pendampingan masyarakat desa mencakup fasilitasi kerja sama Desa dengan pihak ketiga, pengorganisasian desa, serta pengembangan kapasitas (asistensi, pengarahan) — bukan rekrutmen partisan.
Hoaks seperti itu sejatinya menyimpang dari landasan regulasi. Jika masyarakat desa menerima tanpa verifikasi, kedewasaan demokrasi di akar rumput bisa terganggu. Independensi pendamping desa harus dijaga agar tak menjadi alat politik tersembunyi.