Perpustakaan di pesantren sering dipersepsikan sekadar ruang penyimpanan kitab dan buku pelajaran. Namun, sejatinya ia bisa tumbuh menjadi pusat kreativitas santri. Ruang menulis, pojok jurnalistik, hingga studio mini podcast dapat menyalurkan bakat dan minat santri ke arah yang lebih produktif.
Semangat ini sejalan dengan gagasan Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), yang menekankan pentingnya pendidikan berbasis kesadaran kritis. Santri bukan hanya penerima pengetahuan, melainkan subjek aktif yang mampu mencipta. Perpustakaan adalah ruang yang memungkinkan kesadaran kritis itu tumbuh.
Di beberapa pesantren, gagasan menjadikan perpustakaan sebagai “laboratorium peradaban” pernah dicoba. Lomba menulis, resensi kitab, hingga majalah pesantren lahir dari aktivitas ini. Seperti ditegaskan Soedjatmoko dalam Dimensi Manusia dalam Pembangunan (1983), kemajuan bangsa ditentukan oleh daya cipta dan kreativitas masyarakatnya.
Transformasi perpustakaan menjadi ruang kreatif juga memberi pengalaman nyata literasi. Bukan sekadar membaca, tetapi melatih keterampilan menulis, berbicara, hingga mengelola ide. Dalam konteks ini, pesantren memiliki posisi unik karena menggabungkan tradisi keilmuan klasik dengan tantangan zaman modern.
Jika terus dikembangkan, perpustakaan pesantren dapat melahirkan santri multitalenta. Mereka tidak hanya fasih membaca kitab, tetapi juga mahir mengelola media, menulis artikel, atau bahkan memproduksi konten digital. Peran ini krusial dalam menyiapkan generasi yang mampu bersaing di ruang publik modern.
Program Literasi Sederhana, Dampak Besar
Salah satu praktik yang menarik adalah program “satu santri satu buku” di sebuah Madrasah Aliyah. Setiap santri kelas dua belas diwajibkan menyumbangkan buku sebagai syarat pengambilan ijazah. Langkah sederhana ini perlahan menumbuhkan rasa memiliki terhadap perpustakaan dan koleksi bacaan yang ada.
Praktik tersebut sejalan dengan gagasan Azyumardi Azra dalam Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi (1999), bahwa pesantren perlu mengembangkan tradisi membaca melalui inisiatif kecil namun berdampak besar. Sumbangan buku menjadi modal awal memperkaya khazanah bacaan yang beragam.
Ke depan, rencananya program ini dikembangkan lebih luas. Setiap calon santri yang melakukan daftar ulang diwajibkan menyumbang buku dari daftar yang telah disiapkan pesantren. Dengan begitu, koleksi perpustakaan bertambah terarah, sesuai kebutuhan literasi yang dirancang pesantren.
Program ini juga akan dibarengi dengan pelatihan membaca efektif. Santri akan dilatih keterampilan seperti membaca cepat, menemukan ide pokok dalam paragraf, hingga merangkum isi bacaan secara singkat. Keterampilan ini diharapkan meningkatkan kualitas membaca, bukan sekadar menambah kuantitas.
Santri kelas sepuluh dan sebelas bahkan mendapat kesempatan khusus setengah jam membaca sebelum kegiatan belajar dimulai. Ini sesuai dengan rekomendasi UNESCO (2016) bahwa pembiasaan membaca perlu dilakukan secara konsisten sejak dini agar menjadi budaya, bukan sekadar kewajiban sesaat.