Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mendorong Harmoni dengan Orangutan Melalui SDGs Desa

6 September 2025   21:21 Diperbarui: 6 September 2025   21:21 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Populasi orangutan Indonesia kritis, bagaimana melindunginya di alam? (Sumber: (AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN via Kompas.com)

Hutan adalah rumah bersama yang mengikat manusia, satwa, dan ekosistem dalam satu jaringan kehidupan. Di dalamnya, orangutan menempati posisi istimewa sebagai satwa karismatik Indonesia. Desa-desa di sekitar habitat orangutan memiliki peran vital menjaga keseimbangan alam tersebut.

Namun, realitas pembangunan sering menimbulkan konflik ruang. Desa membutuhkan lahan untuk pertanian, sementara orangutan memerlukan hutan luas untuk bertahan hidup. Pertemuan dua kepentingan ini kerap berujung gesekan. Di titik inilah, konsep pembangunan berkelanjutan melalui SDGs Desa menemukan relevansinya.

Desa bukan hanya lokasi, tetapi juga aktor utama dalam konservasi. Kehidupan masyarakat sehari-hari bersinggungan langsung dengan hutan. Karena itu, keterlibatan desa dalam menjaga harmoni dengan orangutan menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

SDGs Desa menyediakan landasan moral sekaligus legal bagi desa untuk bergerak. Melalui indikator yang menekankan keberlanjutan ekologis, desa diarahkan agar tidak hanya membangun jalan dan gedung, melainkan juga merawat hutan, satwa, dan kehidupan yang berada di sekitarnya.

Dengan perspektif ini, keberadaan orangutan tidak sekadar isu konservasi. Ia menjadi simbol bahwa desa berhasil atau gagal menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan pelestarian alam. Harmoni desa dengan orangutan adalah ukuran keberlanjutan kehidupan itu sendiri.

SDGs Desa: Jalan Merawat Kehidupan Bersama

Dalam kerangka SDGs Desa, terdapat beberapa goal yang langsung terkait konservasi. Goal 12, Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan, mendorong pola usaha ramah lingkungan. Misalnya, tersedianya peraturan desa atau surat keputusan kepala desa tentang usaha tanpa pencemaran dan pengelolaan limbah serta sampah rumah tangga.¹

Goal 15, Desa Peduli Lingkungan Darat, menekankan perlindungan ekosistem. Sasarannya jelas: tersedianya peraturan desa atau SK kepala desa tentang pelestarian keanekaragaman hayati, luas hutan rusak mencapai 0 persen, pemanfaatan kayu sebatas pada hutan yang direstorasi, serta peningkatan satwa terancam punah lebih dari 50 persen.²

Goal 17, Kemitraan untuk Pembangunan Desa, memperkuat jejaring kerja. Sasarannya meliputi kerjasama desa dengan desa lain, dengan pihak ketiga, hingga lembaga internasional. Semua ini menjadi landasan penting bagi desa untuk memperkuat kapasitas dalam menjaga harmoni dengan orangutan.³

Dengan sasaran yang terukur, SDGs Desa memberi arah jelas bagi desa. Mereka tidak hanya berpegang pada prinsip umum, tetapi memiliki target konkret yang bisa dievaluasi. Desa dapat mengukur sejauh mana upaya pelestarian hutan benar-benar berdampak pada keberlangsungan orangutan.

Kehadiran SDGs Desa menjadikan konservasi bukan sekadar seruan moral. Ia hadir dalam dokumen pembangunan resmi desa. Dengan begitu, harmoni antara desa, hutan, dan orangutan terhubung langsung dengan masa depan pembangunan itu sendiri.

Tantangan Lapangan dan Peran Desa

Meski kerangka SDGs Desa memberi arah, kenyataan di lapangan tidak sederhana. Desa kerap menghadapi tekanan ekonomi, kebutuhan pangan, dan dorongan ekspansi lahan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan konflik dengan habitat orangutan jika tidak dikelola dengan bijak.

Pendekatan partisipatif menjadi kunci. Melalui musyawarah desa, masyarakat dapat merumuskan program yang menyeimbangkan ekonomi dan ekologi. Contohnya, mengembangkan hasil hutan nonkayu, memanfaatkan ekowisata, atau membangun usaha produktif ramah lingkungan yang tidak menyingkirkan orangutan.

Dalam situasi ini, pendamping desa berperan sebagai fasilitator. Mereka membantu desa memahami indikator SDGs, mengintegrasikan isu konservasi ke dalam rencana pembangunan, dan menjembatani desa dengan pihak luar yang memiliki keahlian atau sumber daya.

Penting dicatat, konflik manusia dengan orangutan tidak bisa dihapus sepenuhnya. Namun, intensitasnya bisa ditekan melalui pemahaman bersama. Edukasi tentang perilaku orangutan, sistem peringatan dini, hingga mekanisme kompensasi dapat disusun desa dengan dukungan mitra.

Dengan mengadopsi pendekatan ini, desa bukan hanya bertahan, tetapi juga tumbuh. Ekonomi warga tetap berjalan, sementara orangutan memiliki ruang hidup aman. Inilah wujud nyata implementasi SDGs Desa di lapangan, meski jalannya penuh tantangan.

Harmoni sebagai Investasi Masa Depan

Menjaga harmoni dengan orangutan bukan sekadar melestarikan satu spesies. Ia adalah investasi jangka panjang untuk keberlanjutan desa. Ketika hutan tetap lestari, desa memperoleh manfaat nyata berupa air bersih, udara segar, dan tanah subur yang menopang kehidupan.

Warisan ini jauh lebih berharga daripada keuntungan sesaat dari eksploitasi hutan. Anak cucu desa akan mewarisi lingkungan sehat sekaligus nilai kebijaksanaan bahwa manusia tidak hidup sendiri. Inilah makna mendalam dari pembangunan berkelanjutan yang diusung SDGs Desa.

Edukasi menjadi pilar utama. Sekolah-sekolah di desa perlu mengajarkan pentingnya menjaga hutan dan orangutan. Dengan begitu, generasi muda tumbuh dengan kesadaran ekologis yang melekat, bukan sekadar pengetahuan akademis. Kesadaran ini akan mengakar kuat dalam budaya desa.

Kemitraan juga menentukan keberhasilan. Desa yang membangun jaringan dengan LSM lingkungan, universitas, dan pihak swasta memiliki peluang lebih besar. Kolaborasi ini memungkinkan desa mendapat teknologi, pengetahuan, dan pendanaan untuk mengembangkan program konservasi yang berkelanjutan.

Akhirnya, harmoni dengan orangutan adalah cermin keberhasilan desa dalam melaksanakan SDGs. Goal 12, 15, dan 17 bukan sekadar angka dalam dokumen, melainkan langkah konkret menjaga kehidupan bersama. Desa, orangutan, dan alam berdiri sejajar dalam satu ikatan keberlanjutan.

Catatan:

  1. Goal 12 – Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan: Menekankan pola produksi ramah lingkungan, pengelolaan sampah, dan pencegahan pencemaran.
  2. Goal 15 – Desa Peduli Lingkungan Darat: Menekankan perlindungan keanekaragaman hayati, pemulihan lahan kritis, dan peningkatan populasi satwa terancam punah.
  3. Goal 17 – Kemitraan untuk Pembangunan Desa: Mendorong kolaborasi desa dengan pihak lokal, nasional, hingga internasional untuk mendukung pembangunan berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun