Sejak pagi, halaman madrasah Pesantren Modern Al-Fatih Gondang dipenuhi keriuhan penuh warna. Meja-meja kecil berjejer rapi di sepanjang sisi halaman, menjadi lapak jualan santri sekolah dasar yang bersemangat menyambut pengunjung. Dengan penuh antusias, mereka menata produk sederhana yang siap dipasarkan.
Aneka barang dagangan ditawarkan, mulai dari makanan ringan buatan pesantren, minuman segar, hingga kerajinan tangan karya santri. Suasana menyerupai pasar sungguhan, lengkap dengan canda, tawa, serta riuh tawar-menawar hangat antara penjual dan pembeli yang memadati halaman.
Para guru mendampingi dengan penuh kesabaran, memberi arahan dan dorongan agar santri kecil berani mempraktikkan keterampilan barunya. Sementara itu, santri Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) turut membantu menjaga ketertiban, sekaligus memberi contoh bagaimana menghadapi pembeli dengan ramah.
Kehadiran Pimpinan Pesantren, TGH. Lalu Nurul Bayanil Huda, MA., menambah semarak suasana. Beliau berjalan dari satu meja ke meja lain, berinteraksi langsung dengan para santri yang berjualan, bahkan membeli beberapa produk mereka sebagai bentuk dukungan moral.
Pemandangan ini membuat halaman madrasah seakan berubah menjadi laboratorium pendidikan terbuka. Di sini, santri kecil tidak hanya belajar menjual barang, tetapi juga mengasah kemandirian, kreativitas, dan keterampilan sosial melalui pengalaman nyata yang jarang ditemukan dalam ruang kelas formal.
Menumbuhkan Jiwa Mandiri Sejak Usia Dini
Kemandirian tidak muncul tiba-tiba, melainkan dibentuk melalui pengalaman. Melalui Al-Fatih Market Day, santri sekolah dasar belajar mengelola modal, menentukan harga, dan menghadapi risiko dagangan yang tidak selalu laku. Dari proses ini, mereka mulai memahami arti keputusan mandiri.
Hurlock dalam Child Development (1978) menjelaskan bahwa kemandirian tumbuh ketika anak diberi kesempatan membuat pilihan dan menghadapi konsekuensinya. Simulasi pasar ini menghadirkan pengalaman tersebut, karena setiap santri belajar mengambil keputusan langsung di lapangan.
Tidak hanya soal keberanian, kegiatan ini juga melatih kreativitas. Santri ditantang menghadirkan produk yang unik dan menarik perhatian pembeli. Praktik ini sejalan dengan pandangan Amabile dalam Creativity in Context (1996), bahwa kreativitas berkembang ketika anak dihadapkan pada situasi nyata yang menuntut inovasi.
Di sisi lain, keterlibatan guru dan santri KMI menjadikan kegiatan ini aman sekaligus edukatif. Anak-anak mendapat arahan praktis, tetapi tetap diberi ruang untuk berkreasi sendiri. Kombinasi inilah yang membuat mereka belajar tanpa merasa terbebani.