Dalam kerja-kerja pendampingan desa, ada ruang-ruang sosial yang tidak tercatat dalam laporan. Ia hadir dalam bentuk sederhana, kadang hanya berupa gerak tangan atau anggukan kecil. Di Sumbawa, angkat jempol di dada selepas bersalaman menjadi satu contoh paling lazim ditemui.
Gerak itu terlihat ringan, namun sesungguhnya sarat makna. Jempol yang ditempatkan di depan dada seakan menegaskan persaudaraan, solidaritas, sekaligus penghormatan. Bagi seorang pendamping desa, gestur itu bukan sekadar salam perpisahan, melainkan sinyal penerimaan dan rasa percaya yang begitu berharga.
Setiap kali pamit selepas kunjungan, senyum warga yang disertai jempol di dada terasa hangat. Ia membangun keakraban, menjembatani komunikasi yang kadang sulit dijelaskan dengan kata. Bahasa tubuh sederhana ini menjadi pintu masuk bagi kepercayaan sosial.
Pengalaman itu menyadarkan bahwa keberhasilan pendampingan tidak selalu diukur dari data atau laporan. Simbol kecil justru sering menjadi tanda nyata bahwa masyarakat menerima kehadiran. Jempol di dada mengajarkan bahwa pembangunan desa tidak hanya soal program, tetapi juga soal menjalin persaudaraan.
Bahasa tubuh semacam ini adalah pengingat bahwa relasi sosial seringkali tumbuh dalam diam. Dalam kesunyian gestur itulah, seorang pendamping desa bisa membaca bahwa kebersamaan sedang bertumbuh, meneguhkan langkah kerja yang akan datang.
Menunduk sebagai Tanda Penghormatan
Berbeda dengan Sumbawa, masyarakat di Lombok Utara maupun Lombok Tengah menunjukkan isyarat lain ketika berpamitan. Warga biasanya sedikit menunduk setelah bersalaman, sebuah gerakan kecil yang tampak sederhana tetapi memiliki wibawa yang kuat. Menunduk menjadi bahasa penghormatan yang tidak membutuhkan kata.
Dalam budaya Sasak, menunduk bukanlah gerakan refleks tanpa makna. Ia adalah simbol kerendahan hati dan pengakuan bahwa orang lain memiliki kedudukan yang patut dihormati. Kesederhanaannya justru menegaskan nilai sopan santun yang tetap hidup di tengah arus perubahan.
Bagi pendamping desa, gerakan menunduk adalah pengingat bahwa setiap langkah kerja harus berakar pada tata krama lokal. Masuk ke ruang masyarakat bukan hanya membawa program, tetapi juga membawa sikap yang menghargai adat dan nilai yang diwariskan.
Ketika warga menunduk selepas berpamitan, terasa ada pengakuan tulus atas kehadiran. Hubungan yang terbangun melampaui urusan teknis, menyentuh ruang sosial dan kultural. Gestur kecil itu menegaskan bahwa pendampingan diterima sebagai bagian dari kebersamaan membangun desa.
Pelajaran penting yang tersisa adalah bahwa menunduk bukan tanda kerendahan, melainkan kebesaran. Dari gerak sederhana itu, seorang pendamping desa belajar menghargai budaya sebagai fondasi keberlanjutan pembangunan.
Variasi Gestur dan Fleksibilitas Sosial
Lombok Barat menghadirkan warna berbeda. Bahasa tubuh berpamitan tidak tunggal, melainkan variatif sesuai ruang sosial yang ada. Ada yang menggosok perut sambil mengangguk, ada pula yang cukup mengangkat jempol, terutama bila interaksi berlangsung dengan sesama pendamping. Fleksibilitas inilah yang memberi kehangatan.
Gestur menggosok perut sambil mengangguk kerap ditemui selepas pertemuan atau jamuan makan. Ia seolah menjadi ungkapan terima kasih atas jamuan sekaligus permohonan maaf bila ada kekurangan. Gerakan sederhana ini memadukan rasa syukur dengan kerendahan hati dalam satu dialek tubuh.
Sebaliknya, angkat jempol lebih sering muncul dalam interaksi nonformal. Sifatnya santai, egaliter, dan menandai persaudaraan tanpa jarak. Bahasa tubuh di sini menunjukkan bahwa hubungan sosial bersifat luwes, mengikuti kedekatan dan situasi yang sedang berlangsung.
Variasi ini memberi pelajaran berharga bagi pendamping desa: tidak ada satu cara baku dalam menjalin komunikasi. Setiap ruang memiliki tata caranya sendiri, dan pendampingan hanya bisa berhasil bila mampu menyesuaikan diri. Fleksibilitas sosial menjadi kunci utama keberlanjutan.
Bahasa tubuh, dalam keragamannya, adalah cermin dinamika sosial. Ia mengajarkan bahwa masyarakat merawat nilai kesopanan dengan caranya masing-masing, tanpa kehilangan inti dari penghormatan dan kebersamaan.
Dialek Tubuh sebagai Ruang Belajar
Dari Sumbawa hingga Lombok, ragam gestur berpamitan menjadi semacam dialek sosial yang tak tertulis. Ia berbeda-beda, namun inti pesannya sama: penghormatan, solidaritas, dan persaudaraan. Pendamping desa menemukan bahwa gestur tubuh adalah bahasa universal yang menyatukan keberagaman.
Perbedaan itu justru memperlihatkan betapa kaya kearifan lokal Indonesia. Bahkan dalam hal sederhana seperti berpamitan, setiap daerah punya corak khas yang tetap menekankan nilai kerendahan hati. Semua itu berpadu dalam bingkai budaya yang menjaga kebersamaan.
Bagi pendamping desa, memahami bahasa tubuh adalah bagian dari membangun kepercayaan. Pembangunan tidak hanya tentang infrastruktur atau administrasi, melainkan juga soal merawat relasi sosial. Gestur berpamitan menjadi pintu yang tak kasat mata, namun membuka ruang penerimaan yang luas.
Dialek tubuh mengingatkan bahwa pendampingan harus berpijak pada nilai lokal. Dengan begitu, interaksi tidak sekadar formal, tetapi juga penuh penghormatan. Dari gerakan kecil, tumbuhlah rasa memiliki terhadap program yang dijalankan bersama.
Akhirnya, kesopanan tidak selalu hadir dari kata-kata. Ia kerap lahir dari gerak tubuh yang sederhana, tulus, dan jujur. Ragam gestur berpamitan mengajarkan bahwa membangun desa berarti pula membangun kebersamaan yang berakar pada budaya.
Epilog
Pada akhirnya, pendamping desa belajar bahwa pembangunan tidak hanya tumbuh dari dokumen dan data, tetapi juga dari bahasa tubuh yang penuh makna. Dari jempol di dada hingga menunduk, semuanya adalah pelajaran sunyi tentang kesopanan, penghormatan, dan persaudaraan yang meneguhkan kebersamaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI