Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tasmi' Bil Ghoib Sekali Duduk: Tradisi Langka Pesantren di Lombok dalam Peringatan Kemerdekaan Indonesia

17 Agustus 2025   09:09 Diperbarui: 17 Agustus 2025   09:09 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Darwa merayakannya dengan tasmi’ bil ghoib 30 juz sekali duduk oleh Muhammad Romi El-Kaufi bin Budi Satriawan (Sumber: Dokpri)

Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-80 di Pondok Pesantren Tahfidzul Quran Darul Wafa (Darwa), Pejarakan Ampenan, Lombok, terasa berbeda. Alih-alih lomba rakyat, Darwa merayakannya dengan tasmi’ bil ghoib 30 juz sekali duduk oleh seorang santri, Muhammad Romi El-Kaufi bin Budi Satriawan. Tradisi ini berlangsung penuh khidmat, sejak selepas Subuh hingga larut malam.

Tasmi’ bil ghoib atau pembacaan Al-Qur’an tanpa mushaf, 30 juz penuh, jarang dilakukan di Lombok, apalagi dalam satu dudukan. Di banyak pesantren, hafalan biasanya dibacakan bertahap. Maka, capaian Romi adalah peristiwa langka, menegaskan pesantren masih menyimpan tradisi kuat yang kini mulai pudar.

Pesantren Darwa yang berdiri pada 2016, dipimpin TGH. Zulkarnaen Ruba’i, MA, sejak awal menempatkan Al-Qur’an sebagai poros. Dengan kurikulum tahfidz hingga 60 persen, lembaga ini bukan hanya mendidik santri SMP-SMA, tetapi juga memiliki SD Tahfidzul Quran—satu-satunya di NTB. Visi besarnya: Membangun Peradaban Islam dengan Al-Qur’an.

Tasmi’ bil ghoib dalam momentum kemerdekaan memberi makna mendalam. Ia menghadirkan simbol syukur, bahwa kemerdekaan tidak hanya dikenang dengan pesta, melainkan juga dengan dzikir kolektif. Seperti ditulis Nurcholish Madjid dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (1998), Islam dan kebangsaan saling menguatkan dalam membentuk masyarakat yang merdeka lahir batin.

Tasmi’ bil ghoib sekali duduk adalah pengingat. Kemerdekaan tidak cukup dirayakan dengan euforia sesaat. Ia butuh refleksi spiritual yang menyambungkan masa lalu, kini, dan masa depan bangsa dalam ikatan nilai luhur.

Tradisi yang Menantang Zaman

Tasmi’ bil ghoib sekali duduk adalah tradisi yang membutuhkan lebih dari sekadar hafalan. Ia menuntut ketahanan fisik, fokus batin, dan konsistensi yang ditempa bertahun-tahun. Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat (1995) menulis, pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga melatih laku hidup penuh disiplin.

Di Lombok, tradisi ini jarang sekali terdengar. Banyak santri hafal 30 juz, namun membacakannya tanpa henti dari awal hingga akhir bukanlah hal biasa. Kegiatan ini menjadikan Darwa salah satu pelopor yang menjaga tradisi Qur’ani dengan standar luar biasa. Ini menegaskan peran pesantren sebagai benteng warisan spiritual.

Tasmi’ bil ghoib yang disimak santri dan ustadz secara bergiliran juga menjadi simbol kebersamaan. Hafalan individu menjadi milik kolektif ketika disimak dan diaminkan bersama. Kebersamaan ini sejalan dengan pandangan Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren (2011) bahwa pesantren membentuk karakter santri dengan nilai kebersamaan, kesederhanaan, dan keikhlasan.

Kegiatan yang hanya berhenti untuk shalat dan makan menunjukkan keseriusan. Tidak ada jeda panjang, tidak ada kelonggaran. Ini adalah latihan kesabaran yang sekaligus melatih rasa syukur. Santri belajar, bahwa perjuangan sejati selalu membutuhkan pengorbanan dan daya tahan.

Tradisi ini menantang zaman. Di era digital, konsentrasi sering terpecah, kesabaran menipis, dan perhatian singkat. Namun, pesantren masih menjaga sebuah tradisi spiritual yang bertolak belakang dengan tren zaman.

Mengikat Kebangsaan dengan Al-Qur’an

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun