Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Menimbang Mobil Listrik: Antara Harapan Baru dan Kenyataan di Daerah

27 Juni 2025   18:46 Diperbarui: 27 Juni 2025   09:46 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya memang belum memiliki mobil. Bukan karena tak ingin atau tak ada cita-cita untuk suatu hari mengendarai kendaraan roda empat, tetapi karena skala prioritas dalam rumah tangga masih belum sampai ke sana. Kebutuhan lain lebih mendesak dan menuntut dipenuhi terlebih dahulu.

Namun, bukan berarti keinginan itu tidak pernah terbersit. Ada kalanya, saat cuaca tak bersahabat atau ketika harus membawa anak-anak bepergian jauh, saya membayangkan betapa nyamannya memiliki mobil sendiri. Tapi pikiran itu segera kembali pada kenyataan dan perhitungan kebutuhan.

Bagi keluarga kecil seperti saya, prioritas utama tetap pada pendidikan anak, kesehatan, dan kebutuhan pokok. Membeli mobil masih dianggap sebagai kemewahan. Untuk aktivitas harian, motor sudah cukup, dan jika bepergian bersama keluarga, layanan seperti Grab dan Gojek masih bisa diandalkan.

Perkembangan dunia otomotif tak bisa diabaikan begitu saja. Diskusi tentang mobil listrik kini semakin sering terdengar. Meski saya belum memiliki mobil, saya mengikuti dengan saksama dinamika dan perbincangan tentang mobil listrik yang makin populer belakangan ini.

Di antara teman-teman saya, sebagian sudah beralih ke mobil listrik, sementara sebagian lainnya masih bertahan dengan mobil berbahan bakar bensin. Cerita mereka menjadi cermin tentang apa yang mungkin akan saya hadapi jika suatu hari nanti ikut beralih.

Cerita dari teman-teman yang sudah menggunakan mobil listrik cukup menarik. Hal pertama yang mereka rasakan adalah keheningan mesin. Tidak ada suara berisik atau getaran khas mesin bensin, membuat pengalaman berkendara terasa lebih nyaman dan modern.

Selain itu, mereka menyoroti efisiensi biaya. Biaya pengisian daya listrik jauh lebih murah dibandingkan mengisi bensin. Ditambah lagi, biaya perawatan juga lebih rendah karena mobil listrik tidak memiliki komponen seperti oli mesin, filter udara, atau knalpot.

Dari segi performa, mobil listrik juga tidak kalah. Torsi instan yang dihasilkan dari motor listrik memberikan respons yang cepat saat pedal gas diinjak. Bahkan, untuk penggunaan dalam kota, mobil listrik bisa menjadi pilihan yang sangat praktis dan menyenangkan.

Ini bukan berarti tanpa catatan. Teman-teman saya masih menyimpan kekhawatiran soal jarak tempuh dan ketersediaan charging station, terutama untuk perjalanan jauh. Seorang teman bahkan berseloroh, “Kalau ke luar kota harus pakai Google Maps bukan cuma buat arah, tapi juga buat cari colokan.”

Bagi sebagian orang, rasa nyaman belum sepenuhnya hadir jika harus bergantung pada lokasi pengisian yang terbatas. Ketakutan akan kehabisan daya di tengah perjalanan masih menghantui. Inilah yang membuat transisi ke mobil listrik belum sepenuhnya mulus.

Sebagai warga Lombok, saya merasakan langsung tantangan tersebut. Di wilayah yang jauh dari pusat kota seperti Bayan, Batukliang Utara, atau Sekotong, tempat pengisian baterai mobil listrik sangat langka, bahkan bisa dikatakan tidak ada sama sekali.

Bagi mereka yang tinggal di Mataram atau sekitarnya, mungkin akses ke charging station masih memungkinkan. Namun, di daerah pedesaan yang cukup jauh, penggunaan mobil listrik saat ini seperti bertaruh pada keterbatasan fasilitas yang tersedia.

Bayangkan jika harus bepergian dari Lombok Barat ke Lombok Timur dengan mobil listrik. Tanpa titik pengisian daya di tengah perjalanan, pengguna harus benar-benar memperhitungkan jarak tempuh dan cadangan daya yang tersisa. Ini membuat mobil listrik belum sepenuhnya cocok untuk mobilitas antarwilayah di NTB.

Salah satu solusi yang patut dipertimbangkan adalah menjalin kerja sama dengan jaringan toko modern. Mart-mart lokal maupun nasional seperti Alfamart dan Indomaret bisa dijadikan simpul energi baru. Mereka sudah menjangkau hingga tingkat kecamatan, bahkan desa.

Jika titik pengisian daya bisa dipasang di tempat-tempat tersebut, masyarakat akan merasa lebih percaya diri menggunakan mobil listrik. Perluasan infrastruktur menjadi kunci agar ekosistem kendaraan listrik bisa hidup tidak hanya di kota besar, tetapi juga di daerah seperti Lombok.

Dari sisi pengguna yang masih bertahan dengan mobil bensin, kekhawatiran tidak hanya soal infrastruktur. Banyak juga yang menyoroti harga beli mobil listrik yang masih terbilang tinggi, meskipun perlahan sudah mulai lebih terjangkau di pasaran.

Isu lain yang tak kalah penting adalah ketahanan baterai dan biaya penggantiannya. Banyak yang belum yakin apakah baterai mobil listrik bisa bertahan lama, atau malah akan menjadi beban biaya baru setelah masa pakai tertentu. Edukasi soal ini belum merata.

Pemerintah, produsen, dan pemangku kepentingan harus bersinergi mendorong transisi ini. Subsidi, insentif fiskal, dan dukungan infrastruktur harus berjalan seiring. Jangan sampai kendaraan listrik hanya dinikmati oleh masyarakat di kota besar atau kalangan atas.

Lebih dari itu, dibutuhkan gerakan kolektif yang mendorong masyarakat untuk mengenal dan memahami manfaat kendaraan listrik, baik dari sisi lingkungan maupun efisiensi biaya jangka panjang. Sosialisasi dan uji coba gratis bisa menjadi pintu masuk.

Saya percaya waktunya akan tiba ketika mobil listrik menjadi pilihan logis, bukan sekadar gaya hidup. Tetapi agar saat itu datang, kita semua—baik sebagai individu maupun sebagai bangsa—harus memastikan bahwa kesiapan infrastruktur dan regulasi berjalan bersamaan.

Bagi saya pribadi, keinginan memiliki mobil suatu hari nanti tetap ada. Namun keinginan itu tetap diposisikan secara realistis, sesuai dengan kebutuhan keluarga dan prioritas pengeluaran rumah tangga yang ada saat ini.

Namun ketika hari itu tiba—entah satu, dua, atau lima tahun ke depan—saya ingin memiliki kendaraan yang ramah lingkungan, hemat, dan mendukung arah pembangunan berkelanjutan. Mobil listrik tampaknya menjadi jawaban ke depan, jika semua ekosistemnya sudah siap.

Di sisi lain, pengalaman teman-teman yang sudah lebih dulu beralih menjadi pelajaran berharga. Mereka menjadi pionir yang menjajal jalur baru, dengan suka dan dukanya. Sementara kami yang belum, terus menimbang dengan cermat, tanpa menutup kemungkinan.

Perjalanan menuju era mobil listrik bukan perlombaan cepat-cepat. Ini tentang kesiapan dan kesadaran. Dan ketika semua unsur berjalan bersama, saya yakin, kendaraan listrik akan menjadi wajah baru mobilitas di Indonesia—tak hanya di kota, tapi juga di pulau seperti Lombok.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun