Tak ada pengkotakan “milik kami” atau “milik mereka”. Jalan dusun yang dibicarakan di masjid, juga mengaliri kepentingan warga yang sembahyang di pura. Begitu pula sebaliknya. Ruang musyawarah menjadi ruang penghapus sekat, bukan penegas identitas sempit.
Perencanaan yang Berakar pada Kearifan
Berbeda dari pola perencanaan teknokratis yang kerap didominasi elite desa atau pihak eksternal, proses penyusunan RPJMDes di Bilebante berlangsung dengan mengedepankan pendekatan partisipatif berbasis kearifan lokal. Tempat ibadah di sini tidak hanya menjadi lokasi ibadah, tetapi juga menjadi titik simpul pertemuan gagasan warga.
Dalam Local Knowledge (1983), antropolog James C. Scott menekankan pentingnya pengetahuan lokal dalam pembangunan. Ketika warga bermusyawarah di masjid dan pura, mereka tidak sekadar menyampaikan usulan program, tetapi juga menanamkan nilai-nilai dan pengetahuan lokal ke dalam setiap perencanaan.
Beberapa usulan yang muncul dari musyawarah di dusun misalnya, mencakup pelestarian adat, penguatan ekonomi lokal berbasis kelompok tani dan UMKM, serta program pendidikan karakter anak desa yang berpijak pada nilai-nilai leluhur. Semua itu lahir dari kesadaran kolektif, bukan instruksi dari atas.
Proses ini juga sejalan dengan pendekatan asset-based community development (ABCD) yang dikembangkan John Kretzmann dan John McKnight dalam Building Communities from the Inside Out (1993). Pendekatan ABCD melihat kekuatan lokal sebagai titik berangkat pembangunan, bukan sekadar daftar kekurangan yang harus ditambal oleh pihak luar.
Dengan cara ini, RPJMDes Bilebante menjadi cermin dari harapan dan daya warga desa itu sendiri. Bukan dokumen formal yang asing, tetapi hasil musyawarah yang hidup dan tumbuh bersama mereka.
Menjadi Teladan dari Pinggiran
Apa yang terjadi di Desa Bilebante adalah contoh baik dari pinggiran yang patut diangkat ke permukaan. Ketika perencanaan pembangunan desa di berbagai tempat kerap diwarnai konflik, dominasi kelompok tertentu, bahkan apatisme warga, Bilebante justru menunjukkan jalan yang berbeda.
Kehadiran musyawarah dusun di ruang-ruang ibadah adalah bentuk rekonsiliasi antara tradisi dan tata kelola modern. Sebuah praktik demokrasi deliberatif yang tidak banyak mengandalkan forum elite, melainkan menghidupkan kembali cara-cara lama yang sarat makna dan nilai.
Sebagaimana dijelaskan oleh Robert Chambers dalam Rural Development: Putting the Last First (1983), pembangunan desa akan berhasil bila mendahulukan mereka yang selama ini berada di belakang. Di Bilebante, pendekatan ini diterapkan secara nyata: musyawarah dilakukan menyebar, menjangkau semua dusun dan kelompok masyarakat.