Di Desa Bilebante, Kecamatan Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah, kehidupan masyarakat berdenyut dalam keharmonisan yang jarang dijumpai. Dalam proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), warga tidak hanya berkumpul di satu tempat, melainkan di masjid-masjid dan pura yang tersebar di berbagai dusun.
Musyawarah dusun yang digelar di tempat ibadah menunjukkan cara masyarakat Bilebante mengelola perbedaan keyakinan secara arif. Masjid dan pura menjadi ruang rembug bagi semua warga—tanpa memandang agama maupun latar belakang. Bukan hanya simbol keberagaman, tetapi juga wujud nyata inklusivitas yang tumbuh dari bawah.
Menurut Mansyur Fakih dalam bukunya Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial (1999), musyawarah adalah akar dari demokrasi partisipatif yang sejati. Di Bilebante, akar itu tumbuh subur. Tak ada batas tembok agama yang membatasi partisipasi warga dalam perencanaan pembangunan desa.
Kehadiran negara melalui UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sejatinya memberi ruang luas bagi partisipasi warga. Namun, implementasinya sering menghadapi kendala kultural. Apa yang dilakukan masyarakat Bilebante adalah cara bijak menjawab tantangan tersebut—yakni membumikan nilai-nilai demokrasi ke dalam konteks lokal mereka.
Musyawarah yang berlangsung di masjid dan pura ini bukan hanya forum menyusun program pembangunan, melainkan juga panggung kebudayaan yang mempertemukan aspirasi, tradisi, dan nilai gotong royong dalam satu tarikan nafas.
Sekat yang Tak Pernah Ada
Desa Bilebante telah lama dikenal sebagai desa wisata berbasis budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Kehidupan masyarakatnya terbentuk dari relasi sosial yang kuat antara kelompok Muslim dan Hindu yang hidup berdampingan selama puluhan tahun.
Sosiolog Clifford Geertz dalam The Religion of Java (1960) menyatakan bahwa agama dalam masyarakat Indonesia lebih merupakan ekspresi kebudayaan daripada sekadar sistem teologis. Di Bilebante, ekspresi ini tampak dalam praktik keseharian yang cair dan saling menghargai antarwarga.
Musyawarah yang berlangsung lintas tempat ibadah mencerminkan bahwa sekat-sekat keagamaan tidak pernah benar-benar ada dalam ruang publik desa ini. Justru dari ruang sakral itulah lahir kesepakatan profan yang menyangkut pembangunan jalan, pengelolaan air bersih, hingga pengembangan wisata desa.
Dalam jurnal Participatory Planning and Development oleh Arnstein (1969), partisipasi warga digambarkan sebagai tangga, dari tingkat manipulasi hingga kemitraan sejati. Apa yang dilakukan oleh warga Bilebante menunjukkan mereka telah melangkah ke tingkat tertinggi partisipasi, yakni warga sebagai pengambil keputusan.
Tak ada pengkotakan “milik kami” atau “milik mereka”. Jalan dusun yang dibicarakan di masjid, juga mengaliri kepentingan warga yang sembahyang di pura. Begitu pula sebaliknya. Ruang musyawarah menjadi ruang penghapus sekat, bukan penegas identitas sempit.
Perencanaan yang Berakar pada Kearifan
Berbeda dari pola perencanaan teknokratis yang kerap didominasi elite desa atau pihak eksternal, proses penyusunan RPJMDes di Bilebante berlangsung dengan mengedepankan pendekatan partisipatif berbasis kearifan lokal. Tempat ibadah di sini tidak hanya menjadi lokasi ibadah, tetapi juga menjadi titik simpul pertemuan gagasan warga.
Dalam Local Knowledge (1983), antropolog James C. Scott menekankan pentingnya pengetahuan lokal dalam pembangunan. Ketika warga bermusyawarah di masjid dan pura, mereka tidak sekadar menyampaikan usulan program, tetapi juga menanamkan nilai-nilai dan pengetahuan lokal ke dalam setiap perencanaan.
Beberapa usulan yang muncul dari musyawarah di dusun misalnya, mencakup pelestarian adat, penguatan ekonomi lokal berbasis kelompok tani dan UMKM, serta program pendidikan karakter anak desa yang berpijak pada nilai-nilai leluhur. Semua itu lahir dari kesadaran kolektif, bukan instruksi dari atas.
Proses ini juga sejalan dengan pendekatan asset-based community development (ABCD) yang dikembangkan John Kretzmann dan John McKnight dalam Building Communities from the Inside Out (1993). Pendekatan ABCD melihat kekuatan lokal sebagai titik berangkat pembangunan, bukan sekadar daftar kekurangan yang harus ditambal oleh pihak luar.
Dengan cara ini, RPJMDes Bilebante menjadi cermin dari harapan dan daya warga desa itu sendiri. Bukan dokumen formal yang asing, tetapi hasil musyawarah yang hidup dan tumbuh bersama mereka.
Menjadi Teladan dari Pinggiran
Apa yang terjadi di Desa Bilebante adalah contoh baik dari pinggiran yang patut diangkat ke permukaan. Ketika perencanaan pembangunan desa di berbagai tempat kerap diwarnai konflik, dominasi kelompok tertentu, bahkan apatisme warga, Bilebante justru menunjukkan jalan yang berbeda.
Kehadiran musyawarah dusun di ruang-ruang ibadah adalah bentuk rekonsiliasi antara tradisi dan tata kelola modern. Sebuah praktik demokrasi deliberatif yang tidak banyak mengandalkan forum elite, melainkan menghidupkan kembali cara-cara lama yang sarat makna dan nilai.
Sebagaimana dijelaskan oleh Robert Chambers dalam Rural Development: Putting the Last First (1983), pembangunan desa akan berhasil bila mendahulukan mereka yang selama ini berada di belakang. Di Bilebante, pendekatan ini diterapkan secara nyata: musyawarah dilakukan menyebar, menjangkau semua dusun dan kelompok masyarakat.
Musyawarah yang dilakukan di masjid dan pura bukanlah simbol, melainkan sarana penguatan modal sosial desa. Tak hanya menghasilkan daftar program, tetapi juga memperkuat rasa saling percaya antarwarga, yang menurut Francis Fukuyama dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (1995), merupakan fondasi dari kemajuan komunitas.
Dalam harmoni yang mengalir dari masjid ke pura, warga Bilebante sedang menuliskan sendiri narasi masa depan mereka. Tanpa sekat, tanpa dikte. Hanya dengan tekad bersama, bahwa masa depan harus dibangun dari bawah, oleh semua, untuk semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI