Hampir setengah tahun, pemerintah telah meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diyakini sebagai langkah progresif menanggulangi stunting dan meningkatkan kualitas pendidikan. Namun, seperti yang diingatkan James C. Scott dalam Seeing Like a State (1998), kebijakan yang seragam tanpa pertimbangan konteks lokal, rentan gagal di lapangan.
MBG pun demikian—ia memerlukan zonasi dan kalibrasi, bukan generalisasi. Di daerah-daerah terpencil yang memiliki persoalan kemiskinan struktural dan akses makanan yang buruk, MBG tentu sangat relevan dan mendesak.
Di wilayah-wilayah seperti pedalaman Nusa Tenggara, pegunungan Papua, atau kampung-kampung di pesisir utara Kalimantan, gizi menjadi kebutuhan primer yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum bicara soal mutu pendidikan.
Anak yang lapar tidak mungkin mampu memahami pelajaran di kelas. Namun di wilayah-wilayah dengan kategori sedang, seperti banyak kota kabupaten di NTB, sebagian besar siswa memang masih berhadapan dengan tantangan ekonomi, tetapi bukan semata pada urusan perut. Mereka justru kekurangan akses pada bahan bacaan bermutu.
Di sinilah ide tentang “Memiliki Buku Gratis” bisa menjadi pasangan yang ideal bagi MBG. Bila perut kenyang adalah fondasi, maka buku adalah bahan bangunan untuk menata struktur pikir dan imajinasi anak.
Subsidi buku bacaan, baik melalui pengadaan langsung, kerja sama dengan penerbit lokal, maupun program donasi nasional, dapat dirancang berdampingan dengan MBG.
Menurut UNESCO dalam Global Education Monitoring Report (2020), anak-anak yang memiliki buku di rumah dan akses membaca yang mudah menunjukkan peningkatan literasi hingga 30 persen dibanding yang tidak memiliki akses serupa. Artinya, buku bukan pelengkap, tapi kebutuhan mendasar pendidikan.
Zonasi menjadi penting karena disparitas antarwilayah di Indonesia terlalu besar untuk diabaikan. Sebagaimana diuraikan Arif Anas dalam Disparitas Pendidikan dan Perencanaan Berbasis Data (LIPI Press, 2020), kebijakan pendidikan yang tidak dikalibrasi dengan kebutuhan daerah berisiko menciptakan ketimpangan baru yang makin dalam.
MBG, bila diterapkan secara seragam di seluruh wilayah, bisa menjadi mubazir di satu tempat dan terlalu sedikit di tempat lain. Zona miskin ekstrem membutuhkan MBG 100 persen. Zona menengah cukup 50 persen MBG dan 50 persen bantuan literasi. Sementara zona maju bisa lebih fleksibel.
Lombok Barat, tempat saya tinggal, menggambarkan tipikal daerah menengah. Di sini, makanan pokok bisa diakses oleh sebagian besar keluarga, tetapi akses terhadap buku masih sangat terbatas. Di toko-toko buku di Mataram, harga buku berkisar antara Rp70 ribu hingga Rp100 ribu.