Pak Marsun, seorang warga desa yang usianya sudah melewati kepala lima, namun tubuhnya masih bugar karena setiap hari terbiasa mencangkul ladang miliknya. Ia tak pernah banyak menuntut dari negara, cukup baginya jika anak-anak bisa sekolah dengan tenang dan makan cukup setiap hari.
Sebagai kepala keluarga dengan satu di antara tiga anaknya yang masih di sekolah dasar, Pak Marsun melihat program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai anugerah. Ia tidak punya sawah luas, hanya sepetak ladang palawija yang hasilnya sering tak menentu karena cuaca yang sulit ditebak sejak beberapa tahun terakhir.
Ketika sekolah anaknya mengumumkan bahwa pemerintah akan menyediakan makanan bergizi setiap hari, Pak Marsun merasa beban hidupnya berkurang. Ia membayangkan anaknya kenyang, sehat, dan tidak lagi harus membawa bekal sederhana berupa nasi dengan garam dan sedikit kelapa parut.
Beberapa waktu lalu, Pak Marsun menghadiri acara pembentukan Koperasi Desa Merah Putih. Ia datang lebih awal dan sempat duduk bersama kami para pendamping desa di berugaq kantor desa. Dalam percakapan santai sebelum acara dimulai, Pak Marsun mengira bahwa acara koperasi ini berkaitan dengan program MBG.
Ia membayangkan bahwa mungkin koperasi desa akan mengelola makanan bergizi secara mandiri. Ia berharap seperti itu, karena baginya, pengelolaan oleh warga desa akan lebih bisa dipercaya dan dekat dengan kebutuhan masyarakat.
Namun kegembiraan itu mulai berganti menjadi kecemasan. Dalam beberapa minggu terakhir, berita tentang keracunan makanan dari program MBG muncul di televisi. Pak Marsun menonton berita itu di pos ronda dengan cemas. Harapannya berubah.
Berita itu bukan sekadar laporan biasa. Baginya, itu ancaman terhadap harapan yang baru tumbuh. Di beberapa daerah, anak-anak dikabarkan mengalami mual hingga muntah setelah makan dari program MBG. Di satu wilayah, bahkan ada yang dirawat di puskesmas karena gejala berat.
Kekhawatiran Pak Marsun bukan tanpa dasar. Ia tahu betapa rapuhnya sistem pengawasan di desa. Tidak semua makanan yang datang ke sekolah melalui kontrol ketat. Bahkan rencana dapur yang akan digunakan untuk memasak berasal dari rumah kontrakan biasa, bukan dapur industri seperti yang ia lihat di televisi.
Dalam bukunya Politik Pangan dan Kedaulatan Rakyat (INSIST, 2007), Mansour Fakih menulis bahwa program-program sosial yang baik secara ide, bisa jatuh ke dalam jebakan birokratis dan lemahnya kontrol lapangan jika tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
Pak Marsun merasa tidak pernah dilibatkan. Ia khawatir karena tidak tahu siapa yang akan memasak makanan anaknya, apakah bersih atau tidak, apakah bahan-bahannya segar atau sudah lama, dan darimana sumber makanan itu berasal. Baginya, semua serba misterius.