Penyusunan APBDes pun bergulir. Tidak mulus, penuh revisi, penuh ketidaknyamanan. Namun, setidaknya, ada gerak. Ada kehidupan. Seperti aliran sungai kecil yang berhasil memecah batu besar di tengah-tengahnya.
Pendamping itu mengerti, membangun desa bukan semata soal membangun fisik, bukan sekadar proyek jalan atau irigasi. Ini tentang membangun ruang batin bersama, sebagaimana digambarkan dalam Community: The Structure of Belonging (Berrett-Koehler Publishers, 2008) oleh Peter Block.
Desa itu akhirnya punya APBDes. Pemerintahan berjalan lagi. Tapi luka yang pernah ada, meski tersembunyi, tetap meninggalkan jejak. Karena tidak semua bekas luka bisa dihapus oleh secarik naskah anggaran.
Begitulah tugas pendamping. Bukan sekadar membenarkan administrasi. Ia harus membaca keheningan, mendengar suara yang tidak terdengar, dan menyalakan obor kecil dalam kegelapan panjang yang tidak semua orang mau lihat.
Di banyak desa, mungkin ribuan kasus serupa terjadi. Konflik kecil yang dibiarkan membesar, membungkam desa, membekukan harapan, karena tak ada ruang untuk bicara dan mendengar.
Membangun desa berarti membangun kepercayaan. Sebagaimana diajarkan dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity oleh Francis Fukuyama (Free Press, 1995), tanpa kepercayaan, tak ada ekonomi, tak ada demokrasi, tak ada masa depan.
Pendamping itu pun menutup kisahnya dengan satu kalimat lirih: membangun jalanan desa itu mudah, tetapi membangun jalanan hati manusia jauh lebih sulit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI