Hari itu di Hambalang, udara sejuk pegunungan membawa suasana yang tak biasa. Presiden terpilih, Prabowo Subianto, duduk santai bersama sejumlah pemimpin redaksi media nasional. Agenda utamanya sederhana: mendengarkan dan berbicara. Tapi gema dari pertemuan itu jauh lebih luas.
Di ruang pertemuan itu obrolan mengalir dari isu ekonomi hingga komunikasi negara. Bagi masyarakat kota, ini mungkin hanya forum lain yang berisi narasi politik. Namun bagi orang desa, pertemuan ini memicu pertanyaan besar: apakah suara kami ada di dalam percakapan itu?
Masyarakat desa, yang menjadi fondasi pembangunan nasional, kerap berada di baris terakhir dalam percaturan narasi kebijakan. Padahal, merekalah yang selama ini menjaga pangan, budaya, dan nilai gotong royong bangsa (Yustika, 2012: Ekonomi Kelembagaan dan Masa Depan Desa).
Dalam forum itu, Presiden Prabowo menjawab berbagai pertanyaan, dari program makan bergizi gratis hingga strategi komunikasi pemerintah. Ia menegaskan bahwa ia ingin menjadi presiden untuk seluruh rakyat, tak terkecuali mereka yang tinggal di desa-desa terpencil.
Program makan bergizi gratis, yang ditargetkan menjangkau seluruh anak Indonesia, menjadi salah satu fokus. Bagi desa-desa yang masih berjuang menghadapi stunting dan kemiskinan, janji ini terdengar bak embun pagi. Namun, realisasinya akan sangat ditentukan oleh bagaimana program itu diturunkan ke tingkat lokal (UNICEF Indonesia, 2022).
Di banyak desa, sekolah dasar masih kekurangan fasilitas. Gizi anak-anak tergantung pada hasil kebun atau warung kecil di pojok kampung. Maka ketika negara berbicara tentang menu seimbang, masyarakat desa bertanya: siapa yang akan memasaknya dan dari dapur siapa?
Forum pemred memang penting sebagai wujud transparansi dan keterbukaan pemerintah. Tetapi diskusi seperti ini sebaiknya tak berhenti di Hambalang atau Jakarta. Dialog yang menyangkut masa depan bangsa harus menjangkau ruang-ruang musyawarah desa dan warung kopi di pinggir sawah.
Masyarakat desa tak menuntut untuk tampil di layar televisi. Mereka hanya ingin didengar. Di banyak tempat, kepala desa dan tokoh adat adalah corong yang dipercaya untuk menyampaikan aspirasi. Sayangnya, suara itu sering kali tersangkut di lorong-lorong birokrasi.
Desentralisasi memang memberikan ruang bagi pemerintah desa untuk mengatur rumah tangganya. Tapi dalam praktik, banyak kebijakan nasional yang tidak sepenuhnya terinformasikan hingga ke pelosok (Dwiyanto, 2011: Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik).
Jika pemerintah ingin membumikan program-programnya, maka komunikasi harus bergerak dua arah. Bukan hanya menyampaikan, tapi juga mendengarkan. Bukan hanya mencatat, tapi juga menyerap dan menindaklanjuti.