Di sinilah peran Steinmetz menjadi relevan.
Kemampuan mengenali masalah dengan presisi, menyederhanakan kebisingan, dan membuat keputusan pada titik paling tepat. TAPM yang menguasai wilayah kerja, mengenal budaya lokal, mengakrabi dinamika masyarakat, akan tahu di mana “titik kapur” harus dibuat.
Pengetahuan semacam ini tidak diajarkan di buku panduan. Ia lahir dari pengalaman, dari kepekaan sosial, dan dari keberanian untuk keluar dari kerumunan administratif.
Tentu, tidak semua bisa menjadi Steinmetz. Tapi TAPM seharusnya diberikan ruang dan otoritas untuk belajar menjadi seperti itu.
Sayangnya, sistem sering tak memberi ruang. Dalam studi oleh Dwi Yuliati (2020) dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, disebutkan bahwa TAPM di banyak daerah justru mengalami overload tugas administratif. Mereka menjadi tangan panjang urusan dokumen, bukan isi dari substansi pemberdayaan itu sendiri.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa kita telah keliru memahami peran strategis TAPM. Kita terlalu fokus pada output administratif ketimbang outcome pembangunan yang bersifat transformatif.
Dalam buku The Spirit of Community oleh Amartya Sen (1999), disebutkan bahwa pembangunan bukan hanya tentang statistik atau indikator kuantitatif. Pembangunan adalah kebebasan yang diperluas. Dan TAPM, dalam posisinya, adalah fasilitator pembebasan itu.
TAPM adalah pelatih kesadaran. Mereka bekerja dengan membangun relasi kepercayaan. Mereka masuk ke ruang-ruang sosial yang kerap kali rumit dan tak terjangkau oleh bahasa formal. Tapi pekerjaan ini nyaris tidak pernah masuk laporan.
Dalam laporannya, mungkin hanya tercatat “fasilitasi musyawarah desa”. Tapi yang tidak terlihat adalah: bagaimana ia meredam konflik dua kelompok adat, bagaimana ia memediasi antara kepala desa dan BPD yang berselisih, bagaimana ia menjaga agar dana desa tidak dipolitisasi.
Seperti Steinmetz, yang hanya meninggalkan satu tanda, TAPM seringkali hanya menyisakan jejak diam. Tidak heroik, tidak viral, tapi penting.