Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menanam Harapan: Pelajaran dari TGH. Safwan Hakim untuk Desa yang Berkelanjutan

5 April 2025   10:36 Diperbarui: 7 April 2025   12:32 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alm. TGH. Safwan Hakim (Sumber: https://kumpulanidependidikan.blogspot.com/2023/07/gagasan-tgh-safwan-hakim-tentang.html)

Pagi itu, embun masih menempel di dedaunan. TGH. Safwan Hakim berjalan pelan di halaman pesantren. Seperti biasa, ia mengamati setiap sudut, memastikan lingkungan tetap terjaga. Matanya tajam, sorotnya penuh perhatian. Ia sesekali berhenti, menunduk memeriksa tanah, atau merapikan batang tanaman yang miring diterpa angin semalam.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Di depan asrama, ia melihat sesuatu yang berbeda. Sebuah pohon telah tumbang. Batangnya telah dipotong, akarnya tercerabut dari tanah. Seorang santri berdiri di dekatnya, masih memegang alat pemotong.

TGH. Safwan menatap santri itu. “Kamu yang menebang pohon ini?” tanyanya dalam Bahasa Arab dengan suara yang dalam, namun tetap lembut. Santri itu menunduk. Ia tak menyangka gurunya akan menegurnya karena perbuatannya ini. “Iya, Abun,” jawabnya lirih.

Tuan Guru menghela napas panjang. “Mengapa kamu tebang?”

Santri itu berusaha menjelaskan. Pohon itu sudah lama mati, katanya dengan terbata-bata. Dahan-dahannya kering. Daunnya tak lagi tumbuh. Ia berpikir, lebih baik ditebang agar halaman tampak lebih rapi.

Namun, mata TGH. Safwan memancarkan ketidaksetujuan. “Pohon itu mungkin tampak mati, tetapi ia masih bisa bertunas. Atau setidaknya, ia masih bisa menjadi tempat tumbuh bagi kehidupan lain,” katanya. Kalimat itu mengendap di benak sang santri.

Hari-hari berlalu, tetapi pelajaran itu tak pernah sirna. Setiap kali bertemu, TGH. Safwan selalu mengingatkan santri itu tentang pohon yang ditebang. Ia mengungkitnya dalam berbagai forum, kadang di depan para guru. Tak ada hukuman, hanya pengulangan, seakan ingin memastikan bahwa pesan itu benar-benar tertanam.

Ia tak menyebut nama, tetapi sang santri tahu. Setiap kata adalah pengingat. Bahwa alam bukan hanya benda mati, melainkan bagian dari kehidupan yang harus dihargai.

Pelajaran tentang cinta lingkungan bukan sekadar teori di pesantren itu. Ia diajarkan melalui praktik, melalui teguran yang datang dari hati. Seperti yang diungkapkan dalam buku Islam and Ecology: A Bestowed Trust, Islam menekankan hubungan manusia dengan alam sebagai bentuk amanah. Umat manusia bukan penguasa, melainkan penjaga keseimbangan ekosistem (Foltz, 2003).

TGH. Safwan adalah penjaga itu. Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan. Kepeduliannya pada lingkungan tak hanya terbatas di pesantren. Ia menginisiasi penghijauan di berbagai daerah, melibatkan santri dan masyarakat sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun