Selama enam tahun terakhir, kami berusaha mempertahankan sebuah tradisi kecil. Setiap Ramadhan, alumni SD angkatan kami mengadakan buka puasa bersama dengan para guru yang pernah mengajar kami. Acara ini berlangsung di rumah salah satu alumni, di sekolah lama kami, atau di kediaman para guru.
Tidak ada yang lebih hangat daripada melihat kembali sosok-sosok yang pernah mengajari kami mengeja, berhitung, dan mengenal dunia. Guru-guru kami Pak Zul, Pak Sihab, Bu Min, Pak Saleh, dan yang lain yang kebanyakan sudah meninggal adalah tokoh yang tidak asing di desa. Nama mereka melekat dalam ingatan setiap generasi yang pernah belajar di sekolah dasar kami.
Mereka bukan hanya pengajar di kelas, tetapi juga pembimbing di luar sekolah. Di desa, guru adalah panutan, orang tua kedua yang mengajarkan lebih dari sekadar mata pelajaran. Mereka menanamkan adab, mengajarkan disiplin, dan memberi contoh dalam bertutur kata kepada para siswa mereka.
Dalam bukunya Guru dan Perubahan Sosial (Samsul Arifin, 2019), disebutkan bahwa guru di lingkungan desa tidak hanya berperan dalam pendidikan formal, tetapi juga dalam kehidupan sosial masyarakat. Guru adalah figur yang dihormati, tempat bertanya dalam berbagai hal, termasuk persoalan kehidupan sehari-hari.
Buka puasa bersama ini merupakan bentuk sederhana penghormatan kami kepada mereka. Kami ingin menunjukkan bahwa ilmu yang mereka tanamkan masih membekas dalam diri kami. Kami masih mengingat mereka dengan rasa terima kasih yang mendalam, meskipun waktu telah berjalan dan kehidupan kami mulai berubah.
Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melihat senyum para guru saat mereka duduk bersama kami. Usia mereka mungkin sudah bertambah, beberapa telah pensiun, tetapi kenangan bersama mereka tetap hidup. Suasana kekeluargaan dalam acara ini selalu membawa kami pada nostalgia masa kecil.
Di antara suapan makanan, mereka bercerita tentang masa lalu, tentang kenakalan kami di kelas, dan bagaimana mereka dulu mengatur kami yang sering gaduh. Terkadang, mereka bercanda menanyakan siapa di antara kami yang paling sering dihukum berdiri di depan kelas karena ulahnya.
Kegiatan ini tidak hanya mempererat hubungan alumni dengan para guru, tetapi juga antarwarga desa. Di desa, acara seperti ini menjadi ajang temu kangen. Buka puasa bersama bukan sekadar soal makanan, tetapi juga tentang membangun kembali tali silaturahmi yang mungkin mulai longgar.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dimuat dalam Jurnal Pendidikan dan Sosial (Nugraha, 2021), yang menyebutkan bahwa kebersamaan dalam tradisi seperti ini mampu memperkuat kohesi sosial di masyarakat pedesaan. Ikatan yang terjalin dalam momen sederhana ini memberikan dampak yang lebih luas.
Beberapa guru kami masih mengabdi di madrasah swasta, sementara sebagian lainnya sudah menikmati masa pensiun. Ada yang tetap aktif di masyarakat, menjadi pengurus organisasi guru. Ada juga yang kini lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga, menikmati hasil jerih payah mereka di masa lalu.
Namun, bagi kami, mereka tetaplah sosok yang sama seperti dulu. Sosok yang sabar menghadapi kebodohan kami, yang tak bosan mengulang penjelasan saat kami tak mengerti, yang selalu memberi motivasi meskipun kami sering kali bandel. Mereka adalah figur yang membentuk masa depan kami.
Menghormati guru adalah bagian dari budaya desa yang masih dijaga. Dalam buku Pendidikan dalam Masyarakat Tradisional (Surya, 2020), dijelaskan bahwa masyarakat pedesaan memiliki ikatan emosional yang kuat dengan guru-guru mereka. Guru bukan hanya pendidik, tetapi juga pemimpin informal yang dihormati.
Kegiatan buka puasa bersama ini menjadi salah satu cara menjaga warisan tersebut agar tidak luntur oleh zaman. Kami ingin anak-anak desa hari ini melihat bahwa menghormati guru bukan hanya sekadar sikap di dalam kelas, tetapi juga dalam kehidupan setelahnya, sepanjang perjalanan hidup mereka.
Kami ingin mereka tahu bahwa ilmu yang didapat di sekolah tidak berhenti saat selesai SD, tetapi terus kami bawa hingga hari ini. Kami ingin mereka memahami bahwa guru bukan hanya sosok yang harus dihormati saat masih bersekolah, tetapi juga setelah kami dewasa dan menjalani kehidupan sendiri.
Beberapa tahun terakhir, perubahan sosial dan teknologi telah mengubah banyak hal. Rasa hormat kepada guru mungkin tidak sekuat dulu. Otoritas guru di kelas mulai digeser oleh akses informasi yang luas dari internet, yang kadang lebih dipercaya dibandingkan petuah dan nasihat dari para guru.
Namun, sebagaimana ditulis dalam Harian Kompas (2023), keberadaan guru sebagai pendidik karakter tetap tak tergantikan. Pendidikan bukan hanya soal mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk manusia yang berakhlak dan bermoral. Guru tetap memiliki peran besar dalam membangun karakter generasi muda.
Buka puasa bersama ini mungkin hanya satu acara kecil. Tidak ada kemegahan, tidak ada publikasi besar-besaran. Hanya sepiring kurma, teh manis, dan tawa yang mengisi ruangan. Tetapi di balik kesederhanaannya, ada nilai yang kami coba jaga agar tidak hilang ditelan perkembangan zaman.
Ada rasa hormat yang kami ingin terus pupuk. Ada ikatan yang kami harap tidak akan pernah putus. Di penghujung acara, sebelum pulang, kami menyalami para guru satu per satu. Seperti dulu saat kami masih kecil, mereka mengusap kepala kami, tersenyum, dan berpesan agar kami tetap menjadi orang baik.
Malam itu, kami pulang dengan hati yang lebih hangat. Walau waktu berjalan, nilai-nilai yang diajarkan di desa ini masih hidup dalam diri kami. Kami ingin buka puasa bersama ini terus berlanjut. Tidak hanya untuk kami, tetapi juga untuk generasi selanjutnya yang akan tumbuh di desa kami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI